Ewean dengan Montir buncit

Siang itu, aku harus pergi ke bengkel karena ada sedikit masalah dengan sepeda motorku. Awalnya aku menuju ke bengkel langgananku. Akan tetapi, niat tersebut aku urungkan karena bengkel tersebut sangat penuh. Bisa saja aku menunggu, toh aku adalah pelanggan sehingga akan dapat prioritas. Namun waktuku tak banyak karena pekerjaan yang sudah menanti. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mencari bengkel lain. Aku menyusuri sepanjang jalan dimana banyak terdapat bengkel. Setelah sekitar 5 menit mencari, akhirnya aku menemukan sebuah bengkel yang tidak terlalu ramai. Aku memutuskan untuk memperbaiki motorku disitu saja. Bengkel tersebut tidak terlalu besar. Disitu ada 
beberapa pelanggan, tidak lebih dari 5 orang, yang sedang menunggu motornya diperbaiki. Selain itu, ada 3 orang pegawai bengkel yang sedang sibuk dengan motor-motor rusak, dan 1 orang lagi, mungkin pemilik bengkel ini, yang sibuk menghitung-hitung sesuatu. Karena harus antri, aku duduk sambil membaca koran yang memang disediakan untuk para pelanggan. Kulirik jam, sudah jam 12.05. Sudah waktunya jam istirahat. Kemudian, aku sibuk membaca berita-berita di koran, hingga akhirnya aku dipanggil oleh seseorang. 
“mas..mas..motornya yang mana?” tanya pria tersebut. Aku mendengar panggilan tersebut dan langsung melipat koran. 
“oh yang itu..” jawabku sambil menunjukkan motorku. Kemudian, pria itu langsung membawa masuk motor lebih ke dalam dan mulai memperbaikinya. Sesaat aku melihat sekeliling bengkel. Sekarang lebih sepi, atau bahkan sangat sepi karena sudah tidak ada orang lain selain aku dan montir yang sedang memperbaiki motorku. Ternyata aku terlalu larut dengan berita-berita yang akan baca di koran, sampai-sampai tidak tahu saat orang-orang sudah keluar dari bengkel ini. Aku pindah tempat duduk di dekat montir yang sedang memperbaiki motor. 
“kok sepi mas?” tanyaku untuk mengusir rasa bosan. 
“biasa mas, jam segini, jam makan siang” jawabnya tanpa menoleh ke arahku sedikitpun. Saat itulah, aku tanpa sengaja mengamati montir tersebut. Ternyata lumayan juga. Montir tersebut berusia sekitar 28 tahunan, gak jauh dari usiaku. Montir tersebut berkulit agak gelap, rambut cepak, sedikit jambang dan kumis di wajahnya, serta badan yang cukup gagah. Ups, aku ketawa dalam hati. Bisa-bisanya aku mengamati montir tersebut. 
“lagi istirahat mas?” tiba-tiba montir tersebut bertanya yang membuatku sedikit kaget. 
“eh, iyah” jawabku sekenanya karena grogi. Lalu, ia menoleh ke arahku dan sedikit tersenyum. Deg..jantung berdetak kencang saat ia tersenyum ke arahku. Wajahnya macho banget! Tak lama, ia lalu kembali sibuk memperbaiki motorku. Aku pun berinisiatif untuk mengajaknya ngobrol. 
“dah lama jadi montir mas?” kataku dengan nada sesantai mungkin. 
“lumayanlah, sudah 3 tahun ini” 
“sebelumnya kerja dimana?” tanyaku lagi. 
“buruh bangunan mas, pindah-pindah melulu. Baru setelah kerja di bengkel ini, gak pernah pindah-pindah lagi” 
“ooo gitu” dalam batinku, ternyata pria ini lumayan enak di ajak ngobrol.. Lalu... 
“nama saya parno, mas siapa?” tiba-tiba ia mengulurkan tangannya untuk mengajakku berkenalan. 
“saya ajie” jawabku. 
“tugas dimana mas?” tanyanya sambil mengambil obeng. Ia menanyakan itu karena melihatku memakai seragam polisi. 
“dipolsek ****” aku menyebutkan nama sebuaah polsek. 
“oo deket sini-sini doang” komentar parno. Aku hanya tersenyum kecil. Aku lirik jam tanganku lagi, sudah jam 12.35. 
“masih lama gak mas?” tanyaku karena sudah keburu waktu. 
“enggak kok, ini sudah jadi” jawabnya. 
“tapi mas belum bisa pergi, karena nunggu yang punya balik kesini. Bayarnya harus sama dia” terangnya. 
“wah, lama gak ya mas?” 
“enggak, paling 10 menit lagi dah dateng, tunggu saja” jawab parno sambil membersihkan tangannya dengan kain serbet. Aku akhirnya harus berada di bengkel lebih lama lagi nih, pikirku. Padahal aku dah lapar. Cuaca lagi panas-panasnya lagi!. Tiba-tiba, aku mendapat pemandangan yang membuat mataku tak bisa terpejam. Parno yang sepertinya sedang kegerahan, membuka kaos yang ia kenakan. Sekarang ia hanya mengenakan celana pendek saja. Ough..badannya sangat bagus. Dadanya bidang, dan ada sedikit bulu-bulu halus disekitarnya. Lengannya berotot. Aku sampai menelan ludah saat melihat itu semua. Pandanganku tidak hanya sampai situ saja. Mataku juga mengarah ke bagian bawah perut. Tonjolan di antara 2 kaki parno, cukup besar. Aku membayangkan apabila kontol parno besar. Ah...kontolku jadi menegang gara-gara memikirkan itu. 
“mas, kalo haus bisa mabil minum di belakang sini” ucap parno yang mengagetkan lamunanku. Aku hanya mengangguk. 
“masuk aja mas, gak usah malu” ucap parno sekali lagi. Ia kemudian keluar dari pintu menuju bagian belakang bengkel. Karena dihinggapi perasaan penasaran, aku membuntuti parno. Saat aku sudah di belakang, kulihat parno sedang duduk di kursi bekas mobil. Ia terlihat sedang mencari angin. Melihatku datang, ia berkata kepadaku lagi. 
“itu mas minumnya, ambil sendiri saja” tunjuk parno ke arah dispenser yang ada di deket pintu. Aku lalu mengambil minum dan langsung meminumnya. Kebetulan, aku juga sedang haus sekali. 
“duduk sini mas, gak apa-apa” kata parno setelah melihatku selesai minum. Aku pun lalu duduk di sebelahnya. Bau keringat langsung menyeruak hidungku saat aku duduk. Bukannya jijik, birahiku malah semakin naik. Aku berusaha bersikap senormal mungkin, padahal jantungku berdetak kencang. Apalagi melihat badan parno yang aduhai. Saat aku sedang mengamati tubuhnya sekali lagi, parno ternyata tahu. Ia hanya tersenyum ke arahku, aku malu dan langsung membuang muka. Tak berapa lamu, tiba-tiba ada sesuatu yang hinggap di pahaku. Ternyata itu adalah tangan parno. Aku kaget. Lalu aku memandang matanya, ia sekali lagi hanya tersenyum. Aku kaget dan semakin bingung, saat ia menggeser duduknya untuk mendekatiku. Dan setelah sudah dekat, ia langsung menyosor bibirku. Yups, bibirnya yang lumayan seksi mendarat di bibirku. Aku hanya terdiam karena bingung. Lalu ia membisikkan sesuatu di telingaku. 
“gak usah malu mas” bisik parno. Kemudian, ia menciumku sekali lagi. Dan kali ini, aku membalas ciumannya. Ough...ciumannya sangat dasyat. Ia lihai juga dalam mencium. Kami berciuman dengan segenap birahi kami yang memuncak. Namun, parno menghentikan ciuman ini. Ia kemudian berdiri dihadapanku. Kepalaku tepat berada di depan selangkangannya. Ia melempar senyum le arahku sebagai kode. Dan aku paham dengan kode tersebut. Pelan-pelan, kupegang celana parno. Celana warna hitam yang terbuat dari kain biasa. Awalnya hanya kuraba dari luar. Baru kutahu apabila parno tidak memakai celana dalam. Bisa kuraba bahwa kontol parno cukup besar. 
“ah...” parno mulai mendesah saat kontolna mulai kupegang. Tangannku mulai berani. Akhirnya aku tarik celana kain tersebut ke bawah, hingga sebuah kontol lonjong besar nan panjang, keluar dari sangkarnya. OMG, kontol parno sangat indah. Warna hitam kelam, dengan kepala kontol yang indah, batang kontol yang padat, 2 biji peler yang menggantung, serta bulu jembut yang tercukur rapi disekitar kontolnya. Kontol parno sudah terlihat besar padahal belum tegang sepenuhnya. Aku langsung menyukainya. Kupegang batang kontolnya, dan kukocok pelan. 
“oh yeah...” desah parno sambil memegangi rambut kepalaku. Aku kocok batang kontolnya, dan kumainkan dua biji pelernya. Sedikit demi sedikit, kontolnya mulai menegang. Wow, sekarang kontolnya menjadi sangat besar. Aku sangat takjub dengan ukurannya. Karena sudah tidak sabar, aku menggunakan lidahku untuk membuat sensasi lain di kontolnya. Aku jilati seluruh bagian kontolnya dengan lidahku. 
“oug...ough...” parno sekarang sampai menggelinjing. 
“ah..ah...” parno sampai merem melek. Aku nikmati batang kontolnya seperti saat menikmati es krim. Bisa kucium juga, bau maskulin yang menyeruak dari sekitar kontolnya. Ah..semakin membuatku bergairah. Rak lama kemudian, aku sudah memasukkan kontol parno ke dalam mulutku. 
“Ough....” gelinjing parno saat aku mulai memasukkan kontolnya ke dalam mulut. Gerakan mulutku membuat kontol parno keluar masuk dan membuat rasa nikmat. Saat kontolnya berada di dalam mulutku, kusedot dalam-dalam. 
“oughhhhhhhhhh....” parno sepertinya tidak kuat menerima rasa nikmat yang kuberikan, sampai-sampai rambutku dijambaknya setiap kali aku menyedot kontolnya di dalam mulutku. Berulang-ulang kumasukkan-kukeluarkan kontol parno dari dalam mulutku. 
”ough..ough..ough..” suara desahan parno yang semakin membuatku gemas. Aku mainkan juga biji pelernya dengan kuremas-remas. Rabaan jariku juga sampai di daerah sekitar lobang anusnya. Sesekali dengan nakal, aku masukkan jari telunjukku ke dalam lobangnya. 
“ough...ough..enak....” gelinjing parno saat aksi itu kulakukan. Hingga setelah kurang lebih 5 menit, ia akan mencapai klimaks. 
“mas..mas...ak mo muncrat..ough...” desah parno. Aku semakin mempercepat gerakan kocokan dan sedotanku pada kontolnya. Dan... 
“ough..ough..arghhhhhhhhh..........” crot..crot..crot...mani kental muncrat dari kontol parno dan mengenai mukaku. Terasa hangat. 
“ah..ah..ah...” nafas parno setengah-tengah karena rasa nikmat yang sedang direngkuhnya. Kontol parno langsung lemas dan kemabil keukuran semula. Lalu, parno membopongku untuk berdiri. 
“makasih mas...” katanya. Kemudian ia langsung menyosor leherku dengan bibirnya. Sontak birahiku naik lagi. Parno sepertinya ingin berbuat yang lebih jauh. Saat mencium leherku, tangannya bergerilya ke seluruh tubuhku. Pantat dan tentu saja bagian kontolku ia gerayangi. Ia bahkan mendorongku ke tembok. Lalu ia merekatkan tubuhnya ke tubuhku sehingga kami sekarang berhimpitan. Lalu yang ia lakukan adalah menggesek-gesekkan kontolnya yang kembali menegang ke badanku. Kontol parno yang digesek-gesekkan tepat berada di atas kontolku yang masih berbalu celana. 
“ohh...” aku pasrah dengan apa yang parno lakukan. Gerakan badannya yang menggesek-gesekkan badannya, sedikit membuat kenikmatan pada diriku. Tapi, saat semuanya belum lebih jauh... 
“no..parno...kamu dimana” suara seseorang memanggil parni dari arah depan bengkel. Parno langsung menghentikan aksinya. 
“itu bosku” kata parno. Ia langsung melepaskan pelukannya di tubuhku dan bergegas mengambil celana yang tadi ia tanggalkan. Aku pun juga begitu, segera membenahi pakaianku yang sedikit compang-camping dan membersihakn mukaku yang terkena mani. 
“maaf mas, kapan-kapan kita lanjutkan” kata parno kepadaku sambil berlalu ke depan. Aku hanya bisa melihat sosok parno berjalan ke depan dengan rasa kecewa karena belum mendapatkan kenikmatan lebih. Setelah itu, aku ke depan dan membayar jasa perbaikan motor. Tanpa berpamitan, aku bergegas pergi dari bengkel. Di jalan, aku sudah berencana untuk menemuinya lagi dan membayangkan apa yang akan terjadi nanti.

Bercinta Dengan Pak Polisi.

Butuh berapa banyak waktu untuk manusia bisa menyadari bahwa hidup itu terlalu berharga untuk disia-siakan. Mungkin hanya takdir bisa menjawabnya dengan lantang namun kita juga masih bisa menentukan nasib seperti apa yang akan kita ingin wujudkan dimasa depan. Seperti saat ini, aku berusaha untuk tidak menyia-nyiakan hidupku. Aku tidak tahu harus memulai cerita ini dari mana agar apa yang aku rasakan bisa diterima kalian. Tetapi mungkin aku akan memulainya dari awal kembali…
Namaku Bayu Antoni. Aku adalah anak semaata wayang dari ayah dan ibuku. Aku memang bukan orang kaya. Ayahku hanya seorang pegawai pabrik minyak goreng, sedangkan ibuku adalah salah satu staf tata usaha di SD dekat rumahku.
Walaupun aku sudah merasa dimanjakan oleh orang tuaku, tetapi aku berfikir untuk apa aku bangga dengan apa yang aku dapat dari ayah dan ibuku. Itukan bukan sepenuhnya hasil keringatku. Apa hebatnya sih, seorang anak yang menadahkan tangan kepada orang tuanya setiap ingin membeli sesuatu?
Tidak ada bukan? Bahkan untuk membeli pulsa pun aku harus meminta dengan ibuku. Menyedihkan kamu Bay!!!! Maka dari itu setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk mencari kerja terlebih dahulu dan menunda kuliahku selama satu tahun. Tuhan punya rencana dan kita hanya bisa bersyukur untuk apa yang telah Tuhan berikan pada kita. Baik ataupun buruk semua itu pasti tidak akan bernilai sia-sia jika kita cukup bijak untuk menyikapinya.
Setelah memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan dan beberapa tempat yang sedang membuka lowongan pekerjaan, akhirnya aku diterima sebagai salah satu karyawan di Minimarket. Gajihnya sih, kecil yaitu Rp. 700.000,- / bulan. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk keperluan bensin dan jajanku selama sebulan.
Ayah dan ibuku mendukung itu dan tentu saja tidak semua uangku aku habiskan. Sebagian aku tabung untuk nambah-nambah biaya kuliahku tahun depan. Mungkin bagi teman-teman yang sudah baca ceritaku sebelumnya, pasti sudah kenal ciri-ciri tubuhku. Aku adalah seorang cowok manis dan menjadi idaman para cewek-cewek sewaktu SMA.
Tinggiku 160 cm dan beratku ideal. Tubuhku mulai terbentuk berkat latihan kerasku untuk membentuk sedikit otot di bagian-bagian tertentu yang menurutku bisa menunjang penampilanku. Bibir tipisku agak merah dan kulitku kuning langsat. Menurut orang-orang sih aku ini cakep, bahkan kalau aku tidak ganteng kayak gini mana mungkin pacar-pacar Polisiku mau ama aku. Ya kan? Hahahahah… Pede banget ya aku ini?
Hubunganku dengan bang Wando tidak ada masalah, namun dia sekarang sudah memiliki anak dan itu menjadi sedikit penghalang jika kami ingin melepas rindu dengan tidur malam berdua.
Bang Wando tidak sebebas dulu lagi. Kak Satria juga masih sering menelpon aku dan kalau dia tidak capek dia juga menemuiku dan menumpahkan semua pejuhnya didalam ususku.. Hahaha… Briptu Musa Hidayat juga kadang-kadang minta jatah padaku. Bahkan kadang aku bisa full service selama seminggu untuk para polisi-polisi selingkuhanku. Sebut saja Iptu Panji Arifin, Ipda Mahmud Septianto, Briptu Setya Anugrah, Briptu Januar Andhika, Briptu Agung Rifky Fitriandi dan Briptu Adit Gunawan mereka pernah meminta jatah yang hampir berdekatan waktunya.
Seperti beberapa bulan lalu, Briptu Dhika memintaku bercinta dirumahnya lewat sms padahal saat itu aku sedang asik-asiknya di genjot gaya ayam panggang oleh Ipda Mahmud. Kontan saja, kontol pak Mahmud didiamkan di dalam anusku sementara aku mematikan hape-ku yang berbunyi di tengah-tengah acara persenggamaan panas kami.
Untunglah saat pak Mahmud memuntahkan pejuh kentalnya, kontol gedenya sempat diarahkan kedalam mulutku sehingga selepas dari rumah pak Mahmud aku langsung menuju rumah Briptu Dhika dan disana aku di entot habis-habisan sampai setengah malam. Walaupun rasanya sangat letih tetapi aku bangga karena sungguh langka bagi cowok “sakit” seperti kaumku ini bisa menikmati kontol-kontol besar milik para Polisi gagah nan perkasa, bahkan bisa setiap hari, dan tentunya dengan polisi yang berbeda-beda gaya bercinta favoritnya. Namun tanpa aku duga seorang Polisi muda lagi-lagi bisa aku nikmati kontol perkasanya. Kejadian ini berawal dari ketidak sengajaanku melayani tamu di minimarket tempatku bekerja. *** Aku ingat betul kejadian pertama aku bertemu dengannya. Tepat pukul 4.30 Sore itu, suasana minimarket tampak seperti hari-hari biasanya dengan adanya para pembeli dan para karyawan. Aku yang saat itu sedang mengatur barang-barang untuk ditaruh di rak tiba-tiba dikejutkan oleh sesosok pria gagah yang berdiri di belakangku.
“Permisi mas. Maaf mengganggu, susu L-xxx (menyebutkan nama produk susu berprotein tinggi khusus pria dewasa beserta berat bersih susu tersebut) habis ya?”, tanya pria macho yang memang kelihatannya berotot kencang itu. Aku menoleh dan menghentikan kesibukanku beberapa saat. “Bapak sudah cek di sebelah sana, di bagian produk susu?”. “Saya sudah mengeceknya tadi tetapi kayaknya memang tidak ada susu yang saya cari”. Wajah tampan pria berbaju coklat khas anggota kepolisian itu tampak begitu meneduhkan pandanganku. Sungguh jika aku tidak sedang berada di tempat umum seperti ini, ingin sekali rasanya aku mengelus mesra rahangnya yang gagah itu. “Tunggu ya Pak saya tanya dulu dengan teman saya. Bapak tidak keberatan bukan kalau saya minta untuk menunggu sebentar?”. “Oh, iya silahkan”. Aku pun permisi untuk beberapa saat dan tak lama kemudian aku kembali mendatanginya.
“Kayaknya kami kehabisan stok pak dan stok kami baru datang besok pagi. Maaf ya pak atas ketidak nyamanannya”. Sebenarnya aku tidak ingin memanggilnya bapak karena aku lihat wajahnya masih terlalu muda untuk aku panggil dengan sebutan bapak hanya saja tidak etis rasanya jika aku memangggil seorang polisi sepertinya dengan sebutan selain bapak apalagi aku belum mengenalnya. “Baiklah kalau begitu. Terimakasih ya mas”. “Terimakasih kembali pak”. Pria gagah itu pun keluar minimarket. Jujur, sejak tatapan pertama tadi, aku benar-benar tidak bisa menghilangkan bayangannya dari dalam pikiranku. Entah mengapa rasanya aku pernah mengenal sosok pria gagah ber kaos biru ketat itu. Ada bagian didalam masa laluku yang seakan-akan membimbibngku untuk lebih mencari tahu siapa pelanggan yang datang padaku tadi. OMG! Aku benar-benar jadi tidak berkonsentrasi bekerja setelah itu. Semoga saja dia datang lagi ke minimarket tempatku bekerja dilain waktu.
Sepertinya doaku terkabul. Dengan pakaian khas polisi berpangkat Briptu dan name tag di dada kirinya yang bertuliskan Dedi Dwi Hartono, pria gagah yang kemarin bertanya padaku kembali datang ke minimarket di sore berikutnya. Seperti yang sudah aku janjikan kemarin kalau stok susu L-xxx yang dia cari akan tiba hari ini sehingga tanpa ragu lagi aku rasa dia pasti akan menuju rak bagian susu. Dengan perhitungan itu, aku bergegas mendahuluinya menuju rak susu untuk sekedar berusaha menarik perhatiannya.
“Permisi mas. Susu yang kemarin sudah datang?”, tanya Polisi itu ketika melihat aku sedang berada di rak dekat bagian susu. Aku menoleh kepadanya mencoba mendramatisasi keadaan agar terlihat tidak dibuat-buat aku berada didekat rak tersebut. “Sepertinya sudah tersedia pak. Silahkan bapak kesebelah situ”. Sambil menunjukkan rak susu L-xxx. “Terimakasih mas”, ucapnya sambil menuju rak yang aku maksud.
Setelah mendapatkan barang yang dia cari, dia langsung membawanya kebagian kasir dan membayarnya. Didalam hatiku, aku berharap bisa lebih mengenal Briptu Dedi di lain waktu. Mungkin kalian juga sependapat denganku jika kalian pernah melihat briptu Dedi secara langsung. Dia adalah pria yang sangat gagah dengan tinggi sekitar 180 cm dan berat yang proporsional. Kulitnya lumayan putih dengan senyuman yang agak misterius namun meneduhkan.
Semenjak pertemuan pertama kami, jujur aku tidak bisa melupakan semua tentang Briptu Dedi. Bahkan salah satu yang membuat aku penasaran adalah bagian selangkangan beliau yang terlihat agak tebal. Oleh karena itu, aku harus cari tahu sebesar apa pisang bulu yang ada di balik celana coklat ketatnya tersebut. Hari telah berganti dan banyak hal yang membuat aku tidak bisa mengabulkan keinginan kontol para Polisi ku. Aku sering pulang malam dan tentu saja itu menjadi alasan terbaikku untuk tidak mau melayani mereka. Aku terlalu letih setelah seharian bekerja.
Kita memang tidak akan pernah tahu apa rencana Tuhan di hari berikutnya. Seperti di hari itu, di hari minggu. Aku kebagian libur minggu ini. Ingin rasanya aku berkencan dengan salah satu pacarku dan melepaskan hasrat yang sudah hampir sebulan aku pendam dalam-dalam. Namun cuaca berkehendak lain, semenjak pagi langit agak muram dengan deretan awan-awan kelabu menghiasi angkasa. Bahkan matahari tidak tampak batang hidungnya siang itu. Akhirnya aku putuskan untuk tidur dan beristirahat saja di kamarku.
Jam menunjukan pukul 11.08 am. Aku medengar ada suara orang mengetuk pintu rumahku. Aku pikir ibu akan membukakan pintu, namun sepertinya ibu tidak mendengar kalau ada tamu yang datang. Dengan agak malas-malasan, aku pun keluar kamar dan membukakan rumah.
BRUAKKKKK!!!! DUGG!!! PLAK! PLAK! PLAK! Ibarat petir menyambar ubun- ubunku. Di depan pintu rumahku telah berdiri seorang wanita paruh baya dengan seorang pria gagah yang beberapa waktu terakhir aku idam-idamkan, Briptu Dedi. Mungkinkan mas Dedi ingin melamarku? Hahaha… sinting lu Bay! Mana ada yang senekat itu!!! “Maaf, ini betul rumahnya ibu Nunu?”, tanya wanita itu membuyarkan lamunanku. “Eh, iya benar bu. Ada perlu apa ya?”. “Ibu Nununya ada?”. “Ada di dapur”. “Bilang ke beliau kalau ada mama Dedi yang nyariin”. Wanita itu melempar senyum padaku. “Oh, baik bu. Silahkan bu, mas, masuk dulu. saya mau panggilkan mama saya”. Aku pun bergegas menemui mamaku di dapur. Aku mulai bingung dengan situasi ini. Mungkinkah ibu adalah teman dari mamanya mas Dedi? Kalau begitu ada kemungkinan ibu juga kenal dengan mas Dedi ganteng itu? “Bu, ada mama Dedi nyariin tuh? Tampak ibuku sedang menata piring di raknya. “Mama Dedi siapa?”. Keliahatannya mamaku masih mengingat-ingat sosok dari nama yang aku sebutkan. “Aku juga nggak tahu. Tadi katanya suruh bilang kayak gitu. Ibu temuin dia aja deh, mungkin dia teman lama ibu kali”, kataku. Dengan segera ibu menghentikan aktivitasnya dan menemui tamu didepan. Setelah ibu pergi, aku berniat membuka tudung saji dan makan siang. Baru mengambil piring, tiba-tiba ibu memanggil aku. “Bay, ke sini sebentar”. “Iya bu…”. Aku taruh kembali pringku dan langsung menuju ruang tamu. Di ruang tamu… “Kamu tahu nggak ini siapa? Pasti dia lupa, Bu Sapti. Dia kan masih kecil waktu Dedi saya jagain”, kata ibuku. “Ini Bayu yang dulu ya? Wah udah tambah ganteng ya sekarang… Masih ingat tante nggak Bay?”, tanay tante Sapti. “Maaf tante, aku tidak ingat”. “Ayo salaman dulu”, pinta ibuku. Aku pun menyalami tante Sapti dan mas Dedi lalu setelah itu aku duduk di samping mas Dedi. “Bayu ini kerja di Minimarket “x (nama minimarket)” kan?”, tanya mas Dedi membuka percakapan padaku. “Iya mas, mas yang kemarin nyari susu itu kan?”. “Wah, ternyata mereka sudah saling kenal bu”, celetuk tante Sapti sambil memandang ibuku. “Iya mah, kebetulan beberapa waktu lalu saya pernah membeli susu di minimarket tempat Bayu bekerja”, jawab mas Dedi. “Kamu pasti pernah lihat kan foto mas Dedi waktu kecil yang ada di album foto? Ya ini orangnya, Bay. Waktu kecil, dia 4 tahun ibu jagaain kalau bu Sapti dan Pak Thamrin lagi berangkat kerja. Sekarang mas Dedi sudah jadi anggota Polisi lho”. Aku hanya tersenyum… “Oh iya bu Nunu, tante Marti masih sehat?”. “Beliau sudah tua, tapi masih sehat bu”. “Kalau tidak keberatan bisa tidak ibu menemani saya menjenguk beliau. Mumpung saya di sini”, pinta bu Sapti. “Tentu bisa. Mari saya antar. Rumah beliau di gang samping menuju sekolahan. Bayu temani mas Dedi sebentar ya”. “Iya Dedi silahkan ngobrol-ngobrol sama Bayu disini. Ibu mau jenguk nenek Marti dulu”. “Baik bu…”, jawab mas Dedi. Akhirnya tinggal kami berduaan di dalam rumah. Mas Dedi orangnya dewasa dan ramah. Dalam waktu yang singkat, aku seperti telah mengenalnya cukup dekat setelah dia mengajakku berbincang-bincang. Aku baru tahu kalau ternyata dia ngekos di dekat minimarket X. Dia juga memiliki seorang adik perempuan yang sekarang sudah kelas XI SMA. Setelah 10 menit berlalu, tiba-tiba hujan turun dengat intensitas yang sedang. “Pintunya aku tutup dulu ya mas. Anginnya dingin”. Aku beranjak dari tempat duduk dan langsung mengunci pintu. “Bay, aku bisa ikut nge-charge tidak? Baterai aku lowbat ini”. “Bisa mas. Silahkan”. “Kamu aja yang mengecharge-kan. Ini chargerannya”. Dia menyerahkan hape dan chargernya padaku. Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung menuju ke dalam kamar dan mencolok chargerannya. Tetapi aku lihat hape mas Dedi belum melakukan pengisian baterai. Aku coba otak-atik tempat mencharge-nya, tetapi tetap tidak bisa. “Mas, kesini sebentar”. Mendengar aku memanggil namanya, mas Dedi beranjak dan mendatangiku. “Ada apa Bay?”. “Kok tidak bisa ngisi?”. “Mana, sini mas coba”. Mas Dedi mulai mencoba mengatur chargerannya tetapi tampaknya memang ada masalah dengan chargeran yang dibawa mas Dedi. “Waduh, kayaknya chargeran mas yang rusak. Kamu ada chargeran jepit gak Bay?”. “Punya ayah ada sih mas. Mas tunggu sebentar ya, aku ambilkan dulu”. aku meninggalkan mas Dedi sebentar didalam kamar.
Mas Dedi menungguku dengan duduk di atas kasur. Mungkin memang sudah takdir kalau mas Dedi bakalan tahu aku ini adalah gay. Dengan tanpa aku duga sebelumnya, mas Dedi menyingkap selimut tempat aku menyembunyikan notebookku yang sedang memutar video gay asia yang durasinya lebih dari satu jam setelah tanpa sengaja dia menyenggol notebooku ketika ingin duduk. Ini memang keteledoranku yang lupa mematikan notebook ketika tadi keluar kamar untuk membukakan pintu rumah.
Tentu saja aku kaget dan agak gugup ketika aku melihat mas Dedi sedang memperhatikan layar notebookku yang sedang menampilkan adegan seorang cowok Jepang kekar berkontol besar sedang mengentoti anus seorang cowok Jepang yang memiliki badan berotot juga. Di adegan itu tampak kedua pria sedang dalam hasrat birahi yang sama-sama tinggi. Gaya sodokan laki-laki yang berada dibawah terlihat sangat cepat menusuk anus pria yang sedang memunggunginya diatas. Mereka benar-benar menunjukan ekspresi yang sangat wow! Sedangkan mas Dedi hanya tampak agak bingung dan mengkerutkan dahinya. Beberapa menit kemudian, aku yang baru datang dari mengambilkan chargeran untuk mas Dedi dan langsung masuk ke dalam kamarku menjadi pucat pasi karena menyaksikan mas Dedi sedang menatap layar notebookku. “M-ma-maaf mas. I-ini char-gernya”. Dengan agak gugup aku menyerahkan chargeran jepit pada mas Dedi. Dia menatapku dengan tatapan yang menyelidik. Tanpa bicara dia mengambil chargeran di tanganku dan langsung melepas baterai hapenya dan mengechargenya. Aku langsung meraih notebookku dan mematikannya. “Kamu homo ya Bay?”, tudingnya secara langsung. Aku tidak bisa berkata-kata dan memilih untuk tetap diam. “Maaf, tadi mas tidak sengaja melihat notebook kamu. Kalau begitu mas mau permisi nyusul ibu dulu ya”. Sepertinya mas Dedi tidak suka dengan ke-gay-an ku. Wajahnya kini terlihat dingin menatapku. Namun sebelum dia meninggalkan kamarku, aku buru-buru menarik tangannya. “Mas… Jangan kasih tahu siapa-siapa ya. Please…”. Dia hanya menatapku lekat-lekat seperti ada ketidak sukaan didalam dirinya. “Aku mohon mas… Jangan kasih tahu bu Sapti atau siapa pun tentang hal ini. Aku takut kalau ibu dan ayahku tahu kalau aku adalah seorang gay”. Aku memelas. Mas Dedi masih diam menatapku. “Mas tidak akan bilang ke siapapun”. Mas Dedi melepaskan cengkramanku. Jika kalian pernah lihat muka pocong, maka wajahku saat itu mungkin sepucat setan itu. Ibarat catur, aku sudah skakmat!!! Aku tertunduk seperti seorang anak yang ketakutan. Mas Dedi yang awalnya hendak keluar kamar tiba-tiba mengurungkan niatnya dan berbalik menghampiriku. Namun, yang membuat aku hampir mati kaget, entah setan dari mana tiba-tiba dia merunduk dan langsung mencium bibirku. Sungguh ini rasanya seperti bara api yang tiba-tiba di celupkan ke dalam air, sangat mengagetkanku.
Mas Dedi menciumi bibirku dengan lembut dan seolah-olah ingin melepaskan beban di dalam diriku. Aku yang masih terkaget-kaget berusaha membuka sedikit mulutku untuk memberi jalan lidah mas Dedi menyapu bibirku yang merah. Antara tipuan atau kenyataan, aku berusaha sadar dan melepaskan ciumannya. “Mas??? Kenap…” Belum sempat bibir ini melanjutkan kata-kataku, mas Dedi langsung kembali mengecup bibirku dan melumatnya dia seolah-olah tahu pertanyaan apa yang akan keluar dari dalam mulutku dan berusaha memberikan jawabannya lewat sebuah ciuman. Lidahnya terasa hangat menyentuh lidahku. Aku imbangi sesaat dan sesekali aku juga mencoba membalasnya dengan beradu lidah di rongga mulutku. Tak terasa tanganku sudah semakin berani bergerak kedepan dan meraba tonjolan besar yang tersembunyi dibalik celana kain berwarna hitamnya. Wow!! Terasa sangat hangat dan keras sekali isi di dalam celana itu. Aku coba meraba bentuknya yang lonjong dan besar seperti gerakan mengocok kartu. Hanya saja ini gerakan mengocok kartu dengan satu tangan. Mas Dedi melepas ciumannya. “AHHHH… AAAHHHH… SHHHIITTTT…. OOOHHHH…. OOOHHHHH….” “MAS SUKA??”. “SUKA BAY. KAMU JAGO BANGET BIKIN KONTOL MAS NGACENG. BARU KALI INI MAS BERANI BERBUAT SEPERTI INI SAMA COWOK. AHHHHH… AAAHHHHH… ENAKHHHHH… BAYYYY… OOOOOOOHHHHHHHHHHH”. “KALAU MAS SUKA, AKU BISA KOK BIKIN MAS LEBIH KEENAKAN LAGI”. “GIMANA CARANYA BAYYY… AUHHHH… GELI BAY…. AAAAHHHHH”. “MAS PERNAH DI ISEP NGGAK?”. “PERNAH BAY, SAMA PACARKU. TAPI UDAH LAMA NGGAK PERNAH LAGI. KAMU MAU NGISEP PUNYA MAS?”. “JANGANKAN NGISEP PUNYA MAS. NUNGGANGI LANGSUNG JUGA AKU MAU. JUJUR, AKU UDAH JATUH HATI DENGAN MAS DEDI SEJAK PERTAMA AKU MELIHAT MAS”. “AAAHHHH…. KAMU NANTANG YA??? AYO SINI ISEP PUNYAKU. KALAU NGGAK BISA BIKIN MAS PUAS, KAMU BAKALAN MAS LAPORIN KE ORANG TUA KAMU”. Ancam mas Dedi. “JANGAN MAS… IYA DEH SINI AKU ISEPIN. POKOKNYA AKU JANJI BAKALAN BIKIN MAS DEDI PUAS. TAPI PINTUNYA DIKUNCI DULU MAS, BIAR KITA BISA BEBAS”. Aku pun bergegas mengunci pintu dan langsung menerkam tubuh mas Dedi yang berotot hingga ambruk ketempat tidur. Kontol kami terasa saling bergesekan dalam keadaan tegang dan masih didalam celana masing-masing. aku maju mundurkan pinggulku dan dengan nakalnya aku langsung mencomot bibir mas Dedi yang sensual. Kami pun terlibat ciuman yang sangat dahsyat.
Tidak terasa, kami berdua sudah dalam keadaan bugil. Aku yang putih mulus, sudah tak bisa berlama-lama lagi menahan gejolak birahi dan langsung ambil posisi telentang sambil ngangkang di atas tempat tidurku seolah-olah mengisyaratkan bahwa aku siap di entot oleh mas Dedi yang gagah. “Kamu udah pengen di entot ya Bay?”. “IYA… MASHHHH…. CEPETAN… BAYU UDAH NGGAK TAHAN NIH….”. “BENTAR YA SAYANG…”. Mas Dedi langsung mengambil posisi berdiri di depanku terlebih dahulu lalu berlutut didepan selangkanganku. Dia sepertinya tertarik untuk mencicipi puting susuku. Dia menundukan badan, kemudian dia kenyot kedua putingku secara bergantian sambil sesekali kontolnya dia rojokkan kebelahan pantatku.
Kalau aku tahu mas Dedi seperti ini dari awal, sudah sejak hari itu aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Aku tidak menyangka ternyata dia juga sama seperti aku. Rezeki memang tak kan lari kemana!!! Hahahaha… Kini bibirnya naik keleherku untuk menjilati bagian itu kemudian dia mulai menuju bibirku dan kami pun kembali berciuman seganas-ganasnya. Sambil berciuman, aku memeluk punggung kokoh milik Polisi gagah itu. Aku raba-raba punggung mas Dedi yang kekar.
Mas Dedi juga tidak tinggal diam, dia seolah-olah mengentoti anusku walaupun hanya kepala kontolnya yang dia rojok-rojokan ke area sekitar lubangku. Gerakan pinggulnya turun naik mencoba memberikan sensasi yang sangat nikmat untukku. Membuat aku semakin kencang memeluk punggungnya. Sesekali aku juga meremas pantat gempal milik mas Dedi. Dia mengangkat pinggulnya dan melepas ciumanku. Dia beranjak dan langsung mengangkangi wajahku. Aku tahu maksudnya. Dia pasti ingin aku mengisap kontolnya yang besar dan gemuk itu. Tanpa basa-basi lagi, aku pun langsung mengulum kontolnya dengan kuluman terbaikku. “AHHHHH… AHHHHHH… YEEEAAAHHHH… AHHHHH… AAARGGGHHHHH… OOOOHHH…OHHHH….”, erangnya. Aku maju mundurkan kepalaku mengisap kontol gede polisi itu. Dia juga sesekali merojokkan kontolnya sedalam mungkin di dalam mulutku hingga aku tersedak. Tetapi jujur, aku suka bentuk kontol mas Dedi yang agak hitam, berurat dan sangat gede itu. Beberapa menit berlalu, mas Dedi sepertinya ingin kembali menciumku karena tiba-tiba dia menarik kontolnya dari dalam mulutku dan merunduk untuk mengecup bibirku. Aku pun kembali membalas ciumannya. Sungguh aku tidak bisa banyak bicara lagi selain rasa enak, nikmat dan menggairahkan sore itu. Aku terpejam sejenak dan berusaha menikmati kehangatan tubuh mas Dedi.
Rasanya aku tidak ingin ini berakhir dengan cepat bahkan didalam lubuk hati terdalamku aku berharap hujan semakin lebat sehingga ibunya mas Dedi dan ibuku menunda waktu mereka untuk balik kerumah ini. Tetapi kalian tentu percaya bahwa doa jelek itu tidak mungkin akan terkabul. Tiba-tiba terdengar suara klakson motor dari arah luar rumah mengagetkan kami yang sedang panas-panasnya beradu birahi. “Mas, stop dulu. ada suara motor tuh…”. Aku mendorong dada berotot mas Dedi yang menempel didadaku. “Siapa itu Bay?”. Dia agak kaget dan langsung berdiri. “Sepertinya itu ayah. Lain kali saja kita sambung ya mas”. Aku pun bergegas bangkit dari tempat tidur setelah memastikan bahwa suara klakson motor yang kami dengar itu benar-benar klakson motor ayahku dan aku pun bergegas memasang semua pakaianku. Wajah mas Dedi tampak kecewa dan walaupun begitu dia tampak menerimanya. Dia segera mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya sementara aku cepat-cepat keluar kamar untuk membukakan pintu rumah. “Kamu dari mana Bay? Kok lama sekaali buka pintunya?”, tanya ayah yang masih mengenakan jas hujan. “Maaf Yah, aku tadi di dapur jadi tidak terlalu terdengar suara motor ayah”, kelitku. Ayah pun menaruh motornya di garasi kemudian dia melepaskan jas hujannya dan menggantungnya di pojokan garasi. Dengan menampakkan wajah bertanya- tanya, ayah keluar garasi sambil matanya memandangi motor gede yang terparkir rapi di dalam garasi rumah kami. Ayah pun masuk rumah. “Bay, itu motor siapa?”. Baru aku ingin menjawab, mas Dedi sudah keluar kamar dan tersenyum pada ayahku. “Sore om… Baru pulang ya?”. Dengan gentle-nya mas Dedi keluar dari kamarku dan langsung menyalami ayahku yang baru masuk menuju ruang tengah. Ayah menyambut uluran tangan dari mas Dedi dengan wajah yang masih agak bingung. “Sore. Iya nih, baru pulang kerja. Kamu siapa? Temannya Bayu ya?”. “Om ingat aku nggak? Coba om ingat-ingat, kira-kira aku ini siapa?”. Sambil tersenyum. Ayah mengernyitkan dahi. “Siapa ya? Sumpah om tidak ingat siapa kamu. Maklum, sudah tua…”. “Aku Dedi om, anak bu Sapti dan pak Thamrin yang dulu pernah menjadi tetangganya om dan tante”. Seketika wajah ayahku menjadi sumringah dan dia langsung menepuk punggung mas Dedi. “Masya Allah… Dedi? Pangling om sama kamu. Udah gede dan ganteng lagi. Walah-walah… Ayo Ded, duduk dulu”. Ayah mengajak mas Dedi keruang tamu. Aku mengekori mereka di belakang. “Kamu sudah kerja ya sekarang? Dimana?”. “Alhamdulillah aku sekarang jadi POLISI om”. “Tugas dimana Ded?”. “Di Polres ************ (nama kabupaten), om. Kalau om sendiri kerja dimana?”. “Om kerja di pabrik minyak goreng di dekat perbatasan kecamatan yang menuju arah sini. Oh, iya sama siapa kamu kesini Ded? Kok bisa tahu rumah om disini?”. “Aku dengan ibu, om. Kebetulan ibu lagi kerumah nek Marti sama tente juga tadi”. “Bay, ambilin minuman hangat dong buat mas Dedi”, pinta ayah. “Baik yah…”. Aku pun bergegas kedapur dan membuatkan dua gelas teh hangat untuk mereka berdua. Ayah dan mas Dedi asik berbincang kesana kemari. Sementara aku memutuskan untuk menyalakan TV dan menonton acara kesukaanku. Tak lama kemudian, hujan reda dan bu Sapti serta mamaku kembali kerumah.
Setelah berbincang-bincang sebentar, bu Sapti dan mas Dedi juga mohon pamit pulang pada keluargaku tetapi sebelum pulang, mas Dedi sempat meminta nomor kontakku pada ayah dengan alasan kosannya dekat dengan minimarket tempatku bekerja. Aku pun kegirangan luar biasa dan ingin rasanya aku lompat setinggi atas dan langsung mencium mas Dedi sekencang-kencangnya. Aku berharap ini baru di mulai. “Kalau Bayu kemalaman pulang atau pengen nginap di kosan saya juga tidak apa-apa kok Om. Saya sendiri ngekos. Ya mungkin saja dia capek dan malas pulang malam-malam ke sini”, tawar mas Dedi pada ayahku. “Iya nak Dedi, terimakasih sebelumnya”. “Kalau begitu kami pamit pulang dulu ya Pak, Bu”. Bu Sapti menyalami ayah dan ibuku. Begitu pula mas Dedi. “Bay, mas Dedi dan tante Sapti mau pulang nih”, kata Ibuku. Aku segera menyambangi mereka dan mengulurkan tangan untuk tamu kami tersebut. Namun ketika tanganku menyalami tangan mas Dedi dia sempat bilang, “Kalau kamu pengen main ke kosan mas silahkan Bay, nginap juga nggak apa- apa. Mas sendirian kok, ngekosnya”. Aku menjawab, “Iya mas pasti itu. Mas tidak perlu khawatir. hati-hati dijalan ya mas”. Setelah itu, mereka pun berlalu pergi.

Masku I love you.

Januari 2011,  semester akhir masa kuliahku. Hari ini libur dan aku suntuk sekali di kos, semua petualangan nakalku karena kesendirianku selama ini cukup membuatku bosan dan suntuk. Sebentar lagi jam 10 aku berangkat ke bengkel untuk men-service motorku karena sudah waktunya untuk ganti oli dan servis. Antri sekali di bengkel terpaksa aku harus menunggu sampai giliran motorku di ‘obati’. Pukul 12.00, matahari amat terik dan servis motorku sudah selesai, segera aku ke kasir dan membayar bill. Aku pacu motorku ke arah pulang, namun di depan ada belokan putar-balik, aku langsung memutar balik arah motorku. Tak tahu kemana arah tujuanku yang jelas ini menuju ke Nusa Dua, terus saja aku melarikan motorku ke arah Nusa Dua dan akhirnya aku tiba di Peninsula. Sebelumnya memang aku sering beberapa kali kesini bila sedang suntuk, sekedar ingin melihat water-blow ataupun pantai dengan pasir putih dan masih sepi. Aku berjalan menuju area jogging track yang ada di dalam dan bermaksud untuk duduk di bale bengong yang terdapat disana.

            Setibanya di dalam, aku melihat dari kejauhan ada seorang laki-laki duduk di bale bengong favourite aku. Akupun melangkah menuju bale itu dan duduk di sana “sendirian mas ?” tanyaku , “iya, sendiri” jawabnya singkat. Kami terus saling menatap, gaydar ku bekerja dengan baik dan aku yakin kalau dia juga gay, tapi saat itu aku sedang suntuk, jadi hanya dia saja. “Darimana ?” tanyanya tiba-tiba , “oohhh dari kos” jawabku singkat.

            Aku mulai memperhatikan, ternyata dia tampan, manis dan tatonya yang tampak di lengan sangat menambah kesan machonya, meski aku masih yakin kalau dia gay juga seperti aku. Akhirnya setelah aku perhatikan, aku seperti pernah melihat wajah orang ini tapi dimana ya aku lupa. Tiba-tiba aku teringat “mmm…AP bukan??” tebakku, “iya , kok tau” tanggapnya heran,”ya ampun pantesan sepertinya ga asing wajahnya, aku sering message kamu di manjam tapi kamu sering cuekin ga dib alas, cumin sekali aja pernah ngebales, aku suka banget liat foto kamu, ada tatonya kan di dada” aku mulai tertarik dengan AP. “oh..iya akun itu sudah dibajak sama pacarku, jadi ga usah kirim kesana lagi” jawabnya, “oh gitu…ini aku masih simpen nomor hp kamu yang dulu pernah kamu kasih di message kamu sekali itu” aku menunjukkan kontak nama di hp ku ke hadapannya, lalu dia tersenyum dan menjawab “hapus saja, sudah dibajak juga, ini nomorku yang aku pakai 081999xxxxxxxx”.

            “Ga nyangka ya…aku mengagumi kamu di foto di akun itu sudah lama, ternyata ketemunya disini dan jauh lebih ganteng dan macho aslinya hahaha” candaku tapi serius loohhh,

            “hahaha…ya jodoh kali” jawabnya entah

            “Bli tonjolannya gede sekali…” langsung aku tembak pertanyaan vulgar

            Gak nyangka dia tiba-tiba membuka reseleting celana jeansnya, ternyata dia sudah ngaceng SUMPAH GA BOONG…guueeedddeeee asli XXL, ukuran bule tapi versi lokal warna kulitnya. “mau…nih” dia menyodori aku

            “wah berani disini nih, tempat umum terbuka banget bli” tanyaku pura-pura takut padahal hobi juga hehehe

            “cuek aja gpp” tantangnya

            “ya sudah” langsung aku samber dengan mulutku, seperti orang kalap ga pernah dapat kontol aku menguum habis kontol raksasa milik AP itu. Ap hanya bisa mendesah dan sedikit mengerang merasakan hisapan-hisapan mulutku di kontolnya.

            “aarrgghhh terus dek…hisap terus sampe kontolku ngecrot ya…” racaunya

            “mmm…mmm..aahhhh” racauku juga

Aku melihat ada bapak-bapak melintas, kamipun cuek. Si bapak-bapak it uterus melihat aksi kami keheranan dan mereka saling berbisik tapi kami tetap cuek.

            “aargghhh mau ngecrot dek..aarrgghhh…crot croott crroott” raungnya saat menembakkan semua pejuhnya ke dalam mulutku, dengan penuh napsu aku telan habs semua cairanya yang banyak dan kental itu

            “main ke kos aku yuk bli, mampir ..” ajakku setelah dia selesai ngecrot

            “boleh,,yuk,,mumpung ga ada tujuan” jawabnya setuju

Sampai di kos kamipun mengobrol dan aku kembali menghisap kontolnya yang gede itu, namun jujur aku belum mampu membayangkan seandainya aku disodomi oleh kontolnya. Sampai detik inipun aku dan dia resmi berpacaran , dan ternyata kami sama-sama memilki kesenangan melakukan sex yang sedikit riskan dan memacu adrenalin. Three some, orgy , public sex, exhibis adalah kesukaan kami.

Lanjut nanti yaaaa pengalaman seru setelah 2,5 tahun menjalin cinta...hingga saat ini...

Bang Tiang suami ku.

Kevin adalah seorang pemuda berdarah Belanda berusia 20 tahun. Kulitnya yang putih bersih dan wajahnya yang imut-imut ditambah senyumnya yang menawan membuatnya menjadi pembicaraan para gadis di kampusnya. Namun tak satupun di antara para gadis itu yang membuat Kevin tertarik karena dia menyadari ketertarikannya secara seksual justru pada kaum sejenisnya sendiri.

Tipe pria yang menjadi idamannya adalah pria pribumi berkulit gelap dan berbadan tinggi tegap. Kevin kerap tak dapat menahan dirinya untuk tidak melakukan onani jika kebetulan bertemu dengan pria seperti itu. Dia selalu membayangkan dirinya menjadi objek seks pria yang berciri fisik demikian.

Suatu hari, karena suatu masalah, Kevin berkenalan dengan seorang perwira polisi bernama Tiang. Tiang berusia 32 tahun. Kulitnya yang kehitaman serta tubuhnya yang tinggi tegap dengan sepasang lengan yang kekar membuat dirinya segera menjadi "kekasih khayalan" Kevin. Kenyataan bahwa Tiang sudah berumah tangga dan memiliki dua orang anak kecil tidak menyurutkan impian Kevin untuk dapat bercinta dengan Tiang suatu hari kelak.

Kevin selalu merasakan lubang pantatnya menjadi gatal setiap kali membayangkan Tiang telanjang di hadapannya dengan kontolnya yang terayun-ayun siap menyetubuhinya. Kevin menduga kontol Tiang yang hitam dan panjang itu pasti liar dan ganas jika sedang bertugas, yang pasti kontol itu berpejuh subur karena sudah menghasilkan dua orang anak.

Setelah masalah itu selesai, Kevin acapkali mengundang Tiang datang ke rumah kontrakannya yang cukup mewah untuk sekedar minum-minum atau bersantai menonton DVD/VCD atau bermain playstation. Kevin memang tinggal di rumah kontrakan karena orang tuanya yang berada tinggal di kota lain. Karena Kevin adalah anak bungsu yang menjadi kesayangan kedua orang tuanya, mereka melengkapi rumah kontrakan Kevin dengan berbagai fasilitas dan kenyamanan. Namun Kevin menolak ketika orang tuanya juga menawarkan seorang pembantu untuk tinggal bersamanya dan mengurus keperluannya. Dia merasa lebih leluasa tinggal seorang diri dan mengurus segalanya sendiri. Terlebih-lebih dia tidak ingin pembantunya curiga jika suatu saat dia pulang membawa pria bermalam.

Tiang sebagai seorang polisi dengan gaji yang pas-pasan merasa senang atas undangan Kevin. Dia senang dapat menikmati segala kenyamanan di rumah Kevin. Tiang sendiri tidak merasa ada yang aneh dengan undangan tersebut atau sikap Kevin yang terkadang sangat manja kepadanya. Dia sudah menganggap Kevin seperti adiknya sendiri.

Suatu malam, ketika mereka sedang menonton teve sambil minum bir hitam dari botolnya, tiba-tiba Tiang menggenggam tangan Kevin dengan lembut. Lalu katanya..

"Wah lentik sekali jari-jarimu! Belum pernah aku melihat cowok dengan jari-jari selentik ini." Meskipun terkejut atas tindakan Tiang, Kevin hanya tertawa, kemudian ujarnya..
"Baru minum beberapa botol bir kok sudah mabuk sih Mas? Mas pasti mabuk sampe ngelantur kayak gitu." Tiang tidak mempedulikan kata-kata Kevin, dia justru meremas-remas tangan Kevin sambil berkata..
"Jari-jari selentik ini pantasnya diberi ciuman." Dan dia benar-benar menciumi jari-jari Kevin.

Bagai tersengat aliran listrik yang dahsyat, Kevin menarik tangannya. Tiang seperti tersadar dari perbuatannya yang tak wajar. Dia menatap wajah Kevin dengan pandangan sayu dan berkata lirih..

"Istriku hamil lagi."
"Wah! Selamat ya Mas! Mestinya Mas berbahagia dengan kehamilan ini dong! Mengapa wajah Mas muram begitu?"
"Kamu khan tahu usia kehamilannya yang masih dini membuatnya tak dapat menunaikan tugasnya sebagai seorang istri. Sudah sebulan ini aku tidak ngeseks dengan istriku," keluh Tiang.

Kevin merasa iba mendengar penuturan Tiang. Rasa iba, itu ditambah perbuatan Tiang sebelumnya, membuat Kevin kemudian memberanikan diri membelai-belai wajah Tiang. Tiang membiarkan jemari lentik Kevin membelai-belai wajahnya. Dia justru menikmati sentuhan-sentuhan tersebut. Kevin bertindak lebih berani lagi dengan mendaratkan kecupan di dahi dan hidung Tiang. Dia ragu-ragu untuk mencium bibir Tiang, namun justru kepala Tianglah yang bergerak maju mencium bibir Kevin.

Detik berikutnya mereka sudah asyik berciuman. Tiang melumat bibir Kevin dan menjulurkan lidahnya yang basah menjelajahi mulut Kevin. Antara percaya dan tidak, Kevin pasrah menerima perlakuan demikian dari pria yang sudah lama diidam-idamkannya itu. Dia menikmati ciuman Tiang sedemikian rupa sehingga mendesah panjang..

"Aah Mas!" Lalu Tiang berbisik lembut kepadanya..
"Aku paling suka cowok berkulit terang dan imut-imut kayak kamu. Aku sayang kamu. Mau nggak kamu jadi kekasihku?"
"Mau Mas! Oh, mau sekali aku jadi kekasihmu! Sudah lama aku mengimpikan suatu hari menjadi kekasih Mas dan bermesraan dengan Mas seperti ini."
"Kamu masih perawan?" Tiang bertanya. Kevin menganggukkan kepalanya..
"Aku rela mempersembahkan milikku yang paling berharga itu kepada Mas, kepada pria yang kucintai."

Mereka kembali berciuman. Lalu Kevin berkata..

"Tetapi aku tidak mau kalau Mas hanya mengentot diriku. Aku mau kita bermain cinta seperti layaknya sepasang kekasih, didahului cumbu rayu yang menggairahkan." Tiang hanya tertawa mendengar kata-kata Kevin.
"Tentu saja sayang! Kita akan bermain cinta, bukan sekedar ngentot. Kalau kau mau kau panggil aku 'Papi' dan aku akan memanggilmu 'Mami' jadi kita persis suami istri." Betapa girangnya hati Kevin mendengar kata-kata Tiang.
"Kita ke kamarku saja Mas!" ujarnya.

Kevin bangkit hendak berjalan menuju kamarnya, ketika tiba-tiba dia merasakan tubuhnya terangkat. Rupanya Tiang menggendongnya.

"Aku merasa bagaikan pengantin baru hendak menghadapi malam pertama dengan suami tercinta, Mas," kata Kevin sambil menyenderkan kepalanya di dada Tiang.
"Anggap saja malam ini adalah malam pertama kita," jawab Tiang sambil membopong tubuh Kevin menuju kamarnya. Mereka terus berciuman sepanjang perjalanan.

Sesampainya di kamar, Tiang menurunkan Kevin dari gendongannya. Kevin hendak berbaring di ranjangnya ketika Tiang memanggilnya lembut..

"Sayang, masak suamimu kaubiarkan mencopoti kemejanya sendiri, bantu Papi dong sayang!"
"Oh, iya, lupa kalau sekarang aku sudah bersuami," Kevin terkikik geli dengan ucapannya sendiri.

Satu demi satu dilepaskannya kancing pada seragam polisi Tiang. Setiap kali melepaskan satu kancing, mereka berciuman sehingga agak lama baru Tiang dapat mencopot kemejanya. Sekarang Tiang berdiri bertelanjang dada di hadapan Kevin. Bagai dalam mimpi Kevin mengulurkan tangannya meraba-raba dan membelai-belai dada Tiang yang sedikit berbulu itu.

Apa yang selama ini dibayangkannya mengenai tubuh Tiang memang benar. Tinggi, tegap, dan berdada bidang, Tiang tampak sangat jantan dan perkasa bertelanjang dada seperti itu. Kulitnya yang gelap menambah wibawa penampilannya. Namun yang paling membuat mata Kevin terbelalak terpesona adalah lipatan ketiak Tiang yang selama ini belum pernah dilihatnya. Sangat seksi dengan bulu-bulu hitam yang tumbuh lebat, apalagi saat itu dalam keadaan basah oleh keringat.

Kevin tidak lagi dapat menahan dirinya. Segera dia menciumi dada Tiang, dijulurkannya lidahnya untuk menjilati keringat yang membasahi tubuh Tiang. Aroma tubuh Tiang terasa sangat khas pria: jantan, tajam, dan kuat. Tiang memejamkan matanya menikmati perlakuan "istri baru"nya pada tubuhnya sambil sesekali terdengar suara lenguhan berat keluar dari mulutnya.

Lidah Kevin terus bergerak menjilati setiap jengkal tubuh Tiang. Kini dia beranjak turun menjilati perut Tiang yang meski tebal namun rata. Di pulas-pulasnya daerah di sekitar pusar Tiang yang berbulu sambil sesekali lidahnya menjulur masuk ke lubang pusar Tiang. Tiang mengerang hebat setiap kali ini terjadi.

Kevin berlutut di hadapan Tiang dan membenamkan wajahnya pada daerah kemaluan Tiang. Ditelusurinya batang kontol Tiang yang tersembul dan tercetak pada celana seragamnya yang ketat. Tiang berusaha melepaskan ikat pinggangnya namun Kevin mencegahnya dan berkata..

"Biar aku saja yang melakukannya Mas. Ini tugas seorang istri."

Kevin melepaskan ikat pinggang Tiang dan membuka kancing serta restleting celananya. Terlihatlah celana dalam Tiang yang berwarna putih dan tampak menggembung oleh kontol yang menonjol di baliknya. Tiang membantu Kevin memerosotkan sedikit celana seragam dan celana dalamnya sehingga kini batang kontolnya tersembur keluar. Terayun-ayun dalam keadaan semi ngaceng di depan wajah Kevin persis seperti yang selama ini dikhayalkan olehnya. Besar, panjang, berotot, dan berwarna hitam, penampilan kontol Tiang tampak sama berwibawanya dengan pemiliknya. Bagian pangkalnya ditumbuhi lebat oleh bulu-bulu hitam keriting. Aroma yang keluar dari sana membuat Kevin mabuk kepayang.

Dijulurkannya lidahnya menjilati bagian kepala kontol Tiang yang bersunat dan berwarna keunguan. Disapu-sapukannya lidahnya pada lubang kencing di ujung kepala kontol itu. Terus dijilatinya batang pelir itu sampai ke bagian pangkalnya. Diciuminya rerimbunan bulu jembut Tiang lama-lama seolah hendak menghirup habis aroma kejantanannya.

Kemudian digenggamnya kontol itu dan diangkatnya sedikit sehingga kini biji pelir Tiang yang sebesar bola tenis terlihat di hadapannya. Dibukanya mulutnya lebar-lebar seolah hendak ditelannya keseluruhan biji pelir Tiang. Namun selebar apapun Kevin membuka mulutnya, biji pelir itu tetap terlalu besar untuk dapat masuk ke dalam mulutnya seluruhnya. Akhirnya dia hanya menjilatinya sambil dikocok-kocoknya kontol yang berada dalam genggaman tangannya.

Tiang hanya melenguh dan mengerang dengan suara berat selama ini. Kini tiba-tiba dia menjadi beringas. Di pegangnya kepala Kevin agar tetap di tempat, kemudian perlahan namun pasti didorongnya masuk batang kontolnya ke dalam mulut Kevin. Tampaknya mustahil jika keseluruhan batang kontol yang besar dan panjang itu dapat masuk ke dalam mulut Kevin, tetapi itulah yang terjadi. Tiang membiarkan Kevin sejenak agar dapat membiasakan diri dengan kontolnya dalam mulutnya, lalu perlahan-lahan pinggulnya bergerak maju dan mundur sehingga batang kontolnya keluar masuk dalam mulut Kevin. Kevin harus membuka mulutnya lebar-lebar agar dapat mengakomodasi seluruh batang kontol Tiang jika dia tidak mau tersedak.

Tiang mulai mempercepat gerakan pinggulnya mengentot mulut Kevin. Maju-mundur, keluar-masuk, kadang-kadang diputarnya pinggulnya sehingga kontolnya turut berputar dalam mulut Kevin. Biji pelirnya menghantam dagu Kevin setiap kali batangnya menghunjam masuk. Lidah dan langit-langit Kevin tergilas habis oleh kontol Tiang bahkan sampai hampir menyentuh dinding kerongkongannya.

Semakin lama gerakan Tiang semakin cepat. Bahkan kadang-kadang kepala Kevin ikut digerakkannya maju dan mundur seolah-olah hendak mendapatkan semua kenikmatan yang dapat diperolehnya dengan mengentoti mulut kekasihnya itu.

Sampai suatu saat Kevin memuntahkan kontol Tiang dari dalam mulutnya. Dia tidak sanggup lagi menelannya. Otot-otot pipi dan mulutnya sampai terasa sakit karena harus bekerja keras. Dia menduga kini mulutnya menjadi lebih lebar beberapa centimeter akibat dientot oleh pria idamannya itu.

Tiang tersenyum manis dan membimbing Kevin bangkit. Dihadiahinya mulutnya dengan ciuman yang hangat. Kemudian dia berbisik lembut di telinga Kevin..

"Isap tetekku ya, Sayang."

Tanpa harus diminta dua kali Kevin mendekatkan wajahnya ke dada Tiang dan menghisap-hisap putingnya sebelah kiri yang mencuat tegang itu. Warnanya yang kecoklatan segar membuat Kevin semakin bernafsu menghisapnya. Dengan kuat dihisapnya tetek kiri Tiang, sementara tangannya memilin-milin tetek satunya lagi. Dengan lembut Tiang berbisik lagi kepada Kevin..

"Cubit sayang, cubit yang keras," pintanya.
"Aah!" jerit Tiang tertahan ketika Kevin benar-benar mencubit teteknya.

Sekarang ganti putingnya sebelah kanan yang menjadi sasaran mulut Kevin. Kali ini Kevin tidak menghisapnya melainkan hanya menjilati dan memulas-mulas tetek kanan Tiang sambil sesekali menggigit-gigit kecil. Kedua pentil Tiang menjadi lebih besar, keras, dan merah setelah Kevin selesai menggarapnya. Tiang kembali menghadiahi Kevin dengan kecupan lembut di bibir.

"Mas tahu nggak apa yang sangat aku idam-idamkan dari tubuh Mas selama ini?" tanya Kevin
"Katakan saja Sayang," kata Tiang sambil mencium bibir Kevin.

Kevin menyelipkan jari-jarinya ke dalam lipatan ketiak Tiang yang berkeringat kemudian menjilati jari-jari tersebut. Tiang tertegun karena tidak menyangka ada cowok yang menyukai aroma ketiaknya. Kevin terus menyelipkan jemarinya ke dalam liapatan ketiak Tiang dan menjilatinya.

"Kau suka bau ketiakku Sayang? Kau tidak jijik?" tanya Tiang.
"Tidak Mas! Aku sangat suka aroma ketiakmu. Aku ingin selalu dapat melakukan ini." Tiang mengangkat kedua lengannya dan kedua ketiaknya yang berbulu lebat terlihat.
"Nikmatilah Sayang," ujarnya sambil menyodorkan ketiaknya ke wajah Kevin.

Kevin tidak menyia-nyiakan tawaran Tiang tersebut. Dibenamkannya wajahnya pada lipatan ketiak Tiang. Dihirupnya aroma ketiak Tiang semaksimal mungkin. Baunya sungguh jantan dan memabukkan. Dijilatinya ketiak itu, rasanya asin dan masam, bulu-bulunya membuat lidah Kevin terasa kasap, kadang-kadang digigitnya pula bulu-bulu itu.

"Terus Sayang, teruskan menikmati ketiakku," Tiang mengerang sambil meracau karena kenikmatan yang dialaminya.
"Ayo Mami! Mami suka ketiak Papi khan?"
"Ya Papi, Mami suka sekali ketiak Papi. Seksi sekali ketiak Papi," Kevin menjawab juga sambil meracau.

Puas dengan satu ketiak, Kevin berpindah ke ketiak yang lain. Sensasi luar biasa kembali dialaminya. Akhirnya karena tak tahan lagi Tiang mendorong tubuh Kevin sehingga jatuh ke ranjang. Dengan ganas diterkamnya dan disobeknya pakaian dan celana yang dikenakan Kevin sehingga kini Kevin terbaring telanjang tanpa selembar benang pun melekat di tubuhnya. Wajahnya merona merah menyadari dirinya telanjang di hadapan pria idamannya. Tiang sendiri segera mencopot celananya. Kini dia juga telanjang polos di hadapan Kevin.

Tubuh Tiang yang besar menindih tubuh mungil Kevin. Mereka bercium-ciuman bertukar lidah dan ludah. Tiang merayap turun menciumi dan menjilati kedua paha Kevin yang ramping dan putih. Kevin membelai kepala Tiang. Setelah puas menikmati paha Kevin, tubuh Tiang beringsut naik kembali lalu menciumi bibir dan pipi Kevin.

"Mas, aku ingin mengatakan sesuatu tapi aku malu," kata Kevin tiba-tiba.
"Katakan saja Sayang, mengapa harus malu?" Tiang berkata sambil terus menciumi pipi kekasihnya.
"Emm.. Begini Mas. Aku tahu aku tidak punya payudara seperti istrimu, tapi aku ingin berkhayal di dadaku ini ada sepasang payudara yang hendak kupersembahkan kepadamu," ujar Kevin malu-malu. Tiang tertawa kecil mendengar kata-kata Kevin.
"Tentu saja Sayang. Tanpa berpura-pura pun aku menyukai dadamu."

Lalu dengan lembut dikulumnya puting-puting susu Kevin. Mata Kevin sampai terpejam-pejam karena nikmatnya sensasi yang dialaminya. Dia merasa seperti seorang istri yang sedang mempersembahkan miliknya yang paling indah kepada suami tercinta.

"Ehmm.. Nikmat sekali netek di dada Mami seperti ini," puji Tiang. Kevin mengusap kemudian mencium kepala Tiang mendengar pujian itu. Lidah Tiang yang tebal, hangat, dan basah terasa lembut membuai puting-puting payudaranya.
"Eeh Papiku sayang," Kevin mendesah berkepanjangan. Dia merasakan puting-puting susunya mengeras dan lebih besar dari semula.
"Berbaringlah telungkup Sayang," kata Tiang kemudian. Kevin menurut.

Tiang menciumi leher dan bagian belakang telinga Kevin kemudian bergerak turun menciumi punggungnya. Tubuh Kevin menggelinjang mendapat perlakuan sedemikian rupa. Ketika sampai pada bagian pantat Kevin, Tiang meraba-raba dan meremas-remas terlebih dahulu kedua bongkahan pantat Kevin sebelum menciuminya.

"Tunggingkan sedikit pantatmu Sayang!" perintah Tiang. Kevin menurut.

Dicium dan digigitinya kedua bongkahan pantat Kevin. Jari-jarinya menyusuri belahan pantatnya. Kevin memekik kecil ketika jari-jari Tiang menusuk-nusuk pantatnya.

"Sakit ya Sayang? Ditahan ya!"

Dimasukkannya lagi jari-jarinya ke dalam lubang anus Kevin yang ketat karena masih perawan itu. Pantat Kevin bergoyang-goyang menahan rasa sakit dan nikmat yang datang bersamaan. Tiang terus memainkan jari-jarinya dalam pantat Kevin. Sesekali dijilatnya jari-jarinya.

"Emm.. Gurih," gumamnya.

Kemudian Tiang mementang kedua bungkahan pantat Kevin sehingga belahan pantatnya terbuka. Lubangnya yang menguncup berwarna merah muda. Dijulurkannya lidahnya menjilati dinding dan lubang anus kekasihnya. Cairan anal membanjir keluar dari dalam lubang anus Kevin. Tiang menghisap habis cairan tersebut.

"Emm.. Nikmatnya rasa cairan lubang nikmatmu sayang," ucap Tiang tanpa sedetik pun menghentikan perbuatannya menjilati anus Kevin. Kevin tidak dapat menjawab kecuali dengan menggoyang-goyangkan pantat tanda dia menikmati perlakuan ini.

Setelah puas menjilati pantat Kevin, Tiang menggenggam dan mengocok-ngocok batang kontolnya sendiri. Dia melumasinya dengan cairan precum yang membasahi lubang kencingnya. Diposisikannya kontolnya pada belahan pantat Kevin. Sebelum dia melanjutkan perbuatannya Tiang membisikkan kata-kata di telinga Kevin..

"Sekarang Sayang, aku hendak menunaikan tugasku sebagai seorang suami. Siapkah kau?" Kevin mengangguk dan menjawab..
"Kuserahkan keperawananku padamu Mas, ambillah! Aku siap menunaikan tugasku sebagai seorang istri."

Tiang mengarahkan kontolnya pada mulut lubang anus Kevin, kemudian dengan perlahan namun pasti dihentakkannya pinggulnya sehingga seluruh batang kontol itu melesak masuk, amblas ke dalam lubang anus Kevin. Bles!

"Auff!!" jerit Kevin menahan sakit.

Batang kontol Tiang yang menembus pertahanan lubang anusnya seperti hendak membelahnya menjadi dua. Sakit sekali memang. Tiang membiarkan Kevin membiasakan diri dengan keberadaan kontolnya dalam pantatnya. Dia tidak melakukan apa-apa selain menciumi pipi Kevin dan menghiburnya..

"Tahan ya Sayang! Memang sakit pada awalnya, tapi lama-lama kau akan terbiasa bahkan menyukainya."

Dan memang berangsur-angsur rasa nyeri itu mereda. Tiang memegang pinggul Kevin dan mulai menggerakkan pinggulnya sendiri maju-mundur. Batang pelernya bergerak keluar-masuk pantat Kevin. Gesekan antara kontol Tiang dan dinding anus Kevin menimbulkan sensasi kenikmatan yang tiada tara. Karena Kevin masih perawan, gerakan keluar-masuk kontol Tiang dalam pantatnya agak tersendat-sendat lantaran dinding-dindingnya menjepit kuat kontol Tiang. Namun justru hal itulah yang menimbulkan rasa nikmat.

"Hgghh! Sempit sekali lubangmu Sayang! Aku memerawanimu Sayang," Tiang mengentot sambil meracau..
"Mau rasanya aku mengentoti pantatmu selamanya."

Gerakan pinggul Tiang semakin cepat, dia juga melakukan gerakan berputar sehingga kontolnya dalam pantat Kevin ikut berputar. Bunyi kecipak timbul karena cairan anal Kevin dan precum dari kontol Tiang membasahi dinding-dinding anus Kevin yang tergesek-gesek.

Tiang mengentot sambil meraba dan meremas bungkahan pantat Kevin. Sesekali ditaboknya bungkahan pantat itu agar Kevin mengetatkan otot-otot dalam pantatnya. Bunyinya pukulan itu terdengar nyaring. Tar! Tar! Kadang-kadang diangkatnya kedua tangannya sehingga hanya pinggulnya yang bergerak maju-mundur persis seperti koboi sedang menunggangi kudanya. Jika sedang begini Tiang akan berteriak, "Yeehaw!"

Kevin sendiri tidak berkata apa-apa selama itu. Dia tidak ingin berkata apa-apa. Dia hanya memejamkan matanya menikmati persetubuhan itu. Inilah persetubuhan pertamanya. Berbagai perasaan dan emosi campur aduk dalam batinnya. Mengira Kevin kesakitan, Tiang memperlambat gerakannya dan lalu bersikap lembut padanya. Direbahkannya tubuh mereka berdua. Diciuminya pipi dan bibir Kevin dari belakang.

"Kau menikmatinya Sayang?"
"Ya Mas!"

Tiang mencabut kontolnya dari pantat Kevin. Kevin sempat merasa kecewa karena mengira Tiang hendak menyudahi permainan cinta mereka. Tetapi rupanya Tiang hanya ingin berganti posisi. Diperintahkannya Kevin agar berbaring telentang, kemudian diangkatnya kedua kaki Kevin ke atas pundaknya dan kembali diposisikannya kontolnya pada mulut lubang anus Kevin dan didorongnya masuk. Bles! Kali ini lebih lancar daripada tadi, namun begitu Kevin tetap merasakan sakit meski tidak senyeri tadi.

Setelah hilang rasa sakitnya, Tiang kembali mengocok-ngocok kontolnya dalam pantat Kevin. Kali ini mereka bersetubuh berhadapan muka dengan muka. Mereka saling cium, saling raba, dan saling cubit. Tiang mengentot Kevin sedemikian rupa sehingga tubuh Kevin terguncang-guncang. Keringat mengalir deras di tubuh mereka namun mereka tidak mempedulikannya.

Kepala Kevin terangguk-angguk ke kiri dan ke kanan mengikuti irama persetubuhan mereka. Lidahnya sedikit terjulur keluar, matanya membelalak sehingga bagian hitamnya hampir hilang. Dari mulutnya terdengar kata-katanya meracau..

"Hggh! Hggh! Habisi saja aku Mas! Kawini Mami, kawini istrimu ini!" Tiang bertambah semangat mendengarkannya. Dihisapnya lagi puting-puting payudara Kevin.
"Aww Papi! Kawini Mami, Papi sayang! Bikin Mami hamil dengan kontol Papi yang besar!"

Tiang melakukan gerakan memompanya semakin cepat. Kevin merasa dirinya bagaikan seorang gadis yang tengah diperkosa oleh seroang pria bertubuh kekar. Sampai suatu ketika gerakan kontol Tiang dalam pantat Kevin terasa tersendat-sendat.

"Aargh Papi mau keluar sayang!" ujar Tiang terbata-bata.
"Keluarkan di dalam saja Papi! Tanamkanlah benih-benihmu dalam rahimku. Hamili aku Papi!"

Crrtt!! Menyemburlah pejuh kental dari ujung kontol Tiang bagaikan gunung berapi memuntahkan lahar. Rasanya hangat dan lengket memenuhi lubang pantat Kevin. Bersamaan dengan itu Kevin pun mengalami orgasme. Cairan putih meleleh keluar dari penisnya.

Tiang mencabut kontolnya dari pantat Kevin. Pejuhnya mengalir keluar berceceran dari pantat Kevin. Dia merebahkan tubuhnya di atas tubuh Kevin, nafasnya tersengal-sengal. Kevin terbaring membayangkan sel-sel sperma Tiang berenang-renang memasuki tubuhnya. Andai saja dia seorang wanita yang memiliki rahim.. Kini Kevin dapat merasakan beratnya tugas seorang istri dalam melayani suami di ranjang, apalagi jika suaminya adalah pria seperti Tiang yang daya seksnya begitu hebat.

Setelah hilang penat di tubuh mereka, Tiang menciumi pipi dan bibir Kevin.

"Kau puas Sayang?" tanya Tiang.
"Sangat puas Mas! Mas sungguh-sungguh perkasa. Ingin rasanya aku mengulangi semua itu. Percintaanku yang pertama. Aku bahagia kaulah pria yang mendapatkan keperawananku."

Mereka berbaring berpelukan. Jemari Kevin yang lentik bermain di atas dada Tiang.

"Mas, apakah Mas akan mencintaiku selanjutnya?" Kevin ganti bertanya.
"Tentu saja Sayang! Aku bangga ada orang secantik dirimu yang memberikan keperawanannya padaku."
"Aku ingin sekali bisa hamil dan mempersembahkan buah cinta kita padamu dari rahimku." Tiang tertawa mendengar khayalan Kevin.
"Untuk apa?" tanyanya.
"Agar ada yang memanggilmu Papa dan memanggilku Mama," jawab Kevin centil dan manja. Tiang tidak menjawab hanya meremas jemari Kevin dan menciumnya. Bagaimanapun juga semua berawal dari jemari lentik itu.

Sejak saat itu Kevin menjadi "istri kedua" Tiang. Tiang sering melewatkan malam, bercinta dengan Kevin di rumah kontrakannya, kadang-kadang sampai dua-tiga malam, dan Kevin melayaninya sebagaimana semestinya seorang istri yang setia.

ML di Penjara

Sungguh, sama sekali sebelumnya aku tidak pernah membayangkan akan menghirup udara kehidupan di balik terali besi yang disebut penjara. Apalagi, istilah penjara yang kukenal selama ini memberikan konotasi kejahatan, kekasaran, kegetiran, kemalangan, serta masa penantian pembebasan dari kungkungan rentang jarak dan waktu. Menjadi bagian dari rangkaian cerita-cerita yang lekat dengan masalah penegakan hukum dan perlindungan atau pengembangan kekuasaan.

Namun, yang kumaksud dengan pengertian penjara dalam cerita di sini bukan dalam artian secara definisi kamus. Semacam tempat pengasingan yang membatasi kebebasan hak individu. Untuk hal-hal yang bersifat umum harus diakui kebenaran kenyataan itu. Namun untuk hal yang "khusus" penjara adalah semacam suaka birahi yang bagaikan sorga dunia. Betapa tidak. At least, as for me, di sana aku seolah menemukan habitat yang selama ini selalu kuimpikan. Berada dalam lingkungan yang memang kudambakan. Hidup bersama dengan hanya kaum lelaki. Kala Gairah Birahi (KGB) aku tidak menemukan suatu kesulitan berarti mencapai suatu penuntasan. Dengan mudah aku bisa mendapatkan lawan bercumbu, andaikata saja adegan make love sejenis disamakan dengan pertandingan tinju atau kickboxing.

Kenyataan yang sangat jauh berbeda kurasakan pada saat aku memiliki kebebasan yang seutuhnya sebagai seorang manusia di dunia bebas. Tidak seperti saat itu, sedang terampas haknya dengan dalih supremasi hukum. Di alam kebebasan yang sesungguhnya, aku malah menghadapi banyak kendala bertalian dengan penyaluran hasrat birahiku yang tergolong nyeleneh ini. Menyukai perkelaminan dengan sesama jenis.

Di dalam kehidupan terpenjara, ketika para penghuni dihadapkan pada kesulitan pilihan mengatasi penyaluran kebutuhan biologis yang menggelegak, ketiadaan wanita, peluang dan kesempatan yang ada seolah menjadi anugerah terindah bagiku. Trying something different. Kalimat sakti tersebut kugunakan untuk melakukan encouragement bagi peminat pemula yang masih diliputi keraguan. Berawal dari hanya sekadar membantu memenuhi hasrat keingintahuan oknum hetero sampai kepada mereka yang memang betul-betul membutuhkan pelepasan dan penyaluran ketegangan jiwa.

Untuk melakukan hal seperti ini tidak perlu suatu hal yang bersifat kuratif. Melakukan pendekatan dan membina hubungan baik. Itu kuncinya. Apabila perasaan kedekatan sudah diciptakan maka tidur berdampingan dapat menjadi awal pembuka untuk gerilya (berupa usapan-usapan pada daerah sensistif). Jika birahi sudah terbakar, umumnya, tidak ada akan penolakan lagi pada sasaran. Hal ini lebih baik daripada melakukan tindakan pemaksaan yang grusa-grusu dan kasar. Disamping tidak seorangpun menyukai tindakan demikian juga akan menyalahi tatanan sosial yang sudah ada.

Sementara, oknum hetero mengutip kalimat tersebut sebagai pembenaran petualangan seks sejenis yang dilakukannya. Toch hanya bersifat darurat. Tidak selamanya. Tiada rotan, akarpun jadilah. Begitulah kira-kira pemikiran apologia yang dapat disimpulkan. Tetapi Anda juga harus mengerti, Tidak serta merta hanya karena pernah mencoba melakukan kisah petualangan tersebut, kemudian menobatkan mereka (oknum) sebagai kaum yang "berbeda". Seperti halnya aku ini, terlahir dari alam (by nature) menyukai dan menikmati hubungan perkelaminan sesama jenis.

Ada juga yang, sebenarnya, tidak menyukai hubungan perkelaminan sesama jenis, namun karena kegairahan birahi yang tersulut, toch, mereka dapat menikmatinya juga. Setidaknya, dengan bukti ereksi dan ejakulasi akibat persetubuhan semu dengan sesama lelaki, yang dilakukan secara orogenital, body contact maupun anal intercourse. Meskipun setelah kembali ke dunia bebas mereka biasanya back to nature. Perkecualian bagi mereka yang kemudian menjadikan "pengalaman" tersebut sebagai modal dari bagian gaya hidup baru di alam bebas sana. Menjadi sosok manusia marginal atau biseks.

Sejauh pribadi yang menjalani menyadari kenyataan tersebut maka kehidupan biseks bahkan gay sekalipun seyogyanya bukan lagi menjadi suatu permasalahan. Berbeda apabila yang bersangkutan tidak menerima kenyataan dimaksud. Apalagi bila ditambah dengan ketidakmampuan menyalurkan dorongan libido sejenis dengan keberanian menerabas citra ke"normal"an karena bercinta dengan sesama jenis. Maka lengkap sudah penderitaan hidup kaum biseks dan atau gay. Hidup dalam pendaman naluri berkelamin yang tiada pernah berkesampaian. Solusinya, tidak ada pilihan lain, kecuali mencoba mewujudkan hasrat tersebut dan berusaha enjoy dalam menjalani hidup.

Kisah yang kutulis ini, sekali lagi bukan dan tidak mencerminkan stereotipe kehidupan penjara yang sesungguhnya. Anda tidak boleh menyamaratakan "alumni" sebagai orang yang selalu atau pasti suka dan pernah atau akan terlibat dengan kehidupan seks semacam ini. Karena kenyataannya, ada juga yang sangat antipati dengan perilaku seks seperti yang kulakukan dan kuceritakan ini.

Untuk sikap penolakan seperti di atas aku mengacungkan ke empat ibu jari. Salut sekali dengan keteguhan dalam prinsip dan keyakinan. Mereka tetap tahan tidak bergeming dari kegamangan iman, godaan, dan dorongan kebutuhan penyaluran hasrat berkelamin yang menggelora, yang akhirnya cukup terpuaskan dengan tindakan masturbasi ataupun menggantinya dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat daripada sekadar membayangkan kemesuman.

Ada semacam kesepakatan tidak tertulis (konvensi) di dalam penjara, bahwa tindakan seks sejenis yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu pihak terkait akan memberikan peluang bagi pelanggar mendapatkan hukuman yang berat dari sistem dan lingkungan. Lain persoalannya, apabila hubungan sebadan tersebut dilakukan atas dasar keinginan bersama dan tidak dilakukan secara terang-terangan/vulgar/pamer/show off. Semata-mata aturan tersebut dijalankan untuk menghormati penghuni lain yang tidak sepaham dengan aliran seks sejenis. Demikian pula dengan institusi, yang walau tidak membenarkan tindakan ini, juga tidak dapat mencegah atau melarang terjadinya praktek-praktek terselubung semacam ini. Agaknya, salah satu dinding-dinding kamar penjara dapat menjadi saksi bisu yang reliable.

Kisah yang aku alami juga belum tentu sama dengan kisah mantan penghuni penjara yang lainnya. Seperti sudah kujelaskan di awal cerita, bahwa tidak semua mantan napi sependapat dengan hal-hal yang kulakukan ini. Ada juga yang sangat menentang. Tentu saja dengan alasan yang berbeda-beda. Ini menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal.

Alam pemikiran demokratis mengajarkan kita untuk saling menghormati adanya perbedaan pendapat ini. Namun tidak berarti adanya perbedaan pendapat ini menghalalkan timbulnya anarkisme. Demi menjunjung tinggi nilai-nilai seperti inilah membuat konvensi tetap terpelihara.

Karena itu, sekali lagi aku juga mohon maaf kepada mereka yang menabukan perkelaminan sejenis yang kulakukan di dalam penjara. Mempunyai orientasi seks yang berbeda bukanlah suatu cita-cita dalam hidupku. Namun, aku tetap harus memberi kualitas dalam kehidupanku daripada harus terpuruk sendiri hanya karena memelihara citra "normal" yang palsu. Selain itu, aku juga tidak pernah memaksa mereka yang memang tidak berminat. Kepada kaum sesama atau para simpatisan penikmat hubungan seks sejenis, anggap saja kisah ini sebagai bahan perenungan pencarian jati diri.

Aku juga tidak menyebut soal cinta, yang kedengarannya melankonis dan klise untuk kehidupan kaum pria di dalam penjara. Dalam cinta senantiasa ada romantisme. Sementara, penjara adalah dunia terbatas yang tidak kondusif terhadap tindakan romantisme sesama penghuni. Untuk sekadar menyalurkan hasrat birahi tidak perlu didahului lagi dengan ritus yang memanterakan untaian kata "cinta".

Hanya dengan berbekal keinginan dan persetujuan bersama, adanya peluang tempat dan waktu – agar tidak terlihat vulgar dan show off – semua tindakan perangsangan, erotisme ataupun pergumulan seks menjadi sangat mungkin untuk dilakukan. It sounds easy. Namun harus dengan kehati-hatian. Intuisi memegang peranan penting agar tidak terjebak dalam perangkap konvensi yang sebenarnya dapat dihindarkan.

Berlainan dengan erotisme, yang dapat dilakukan seorang diri. Menggunakan jemari tangan atau sekadar menggesek-gesekan kemaluan pada dinding, lantai, atau bantal sekalipun. Demi menciptakan efek perangsangan pada alat kelamin agar ereksi dan kemudian ejakulasi. Menyalurkan keinginan birahi yang bergejolak.

*****

Tempat yang digunakan untuk "memenjarakan" aku terdiri dari beberapa blok dengan banyak kamar atau ruangan. Kamar yang aku huni di tempat penampungan sementara ini berisi sepuluh orang. Kamar-kamar yang lain juga berisi jumlah yang sama. Kehadiran mereka di sini dengan latar belakang sebab yang berbeda-beda. Namun, umumnya, karena tindakan kriminal dan penyalahgunaan obat psikotropika. Begitu pula dengan status sosial/marital, edukasi, pekerjaan, religi dan etnis yang beragam.

Akan halnya dengan keberadaanku di penjara, sebetulnya, lebih banyak di dorong keinginan membuktikan cerita burung adanya "surga dunia", selain terlanjur bernasib sial (?) kedapatan membawa barang terlarang saat dilakukan razia di suatu diskotek terkenal ibukota. Hal yang tidak dapat kusangkal adalah, ditemukannya barang bukti tersebut di saku celanaku. Asalnya adalah titipan teman. Namun, karena pada dasarnya aku memang tidak ingin melibatkan orang lain, maka aku mengakui barang itu adalah milikku, yang aku gunakan sendiri.

Padahal, kenyataan yang sesungguhnya, aku sama sekali tidak menyukai penggunaan zat-zat addictive semacam itu. Sekadar membayangkannya pun tidak pernah, apalagi mecoba menggunakannya. Aku memang tidak ingin tubuh dan hidupku terkontaminasi dengan zat-zat sedative artificial semacam itu. Dengan konsep berkelamin sejenis yang kujalani ini saja aku sudah merasa tidak murni lagi sebagai manusia secara kodrati. Apalagi bila masih harus ditambah dengan penggunaan zat-zat semacam itu. Seperti apa nanti aku jadinya? No way. Konskwensi yang kuterima adalah, terampasnya kebebasan dasar yang paling nyata: bersosialisasi di dunia luar. Meskipun di lain pihak, aku mendapatkan bentuk kompensasi kebebasan yang lain. Memiliki kesempatan luas menyalurkan kecenderungan naluri hasrat birahi sejenisku yang menggelora.

Sampai hari ketiga aku berada di dalam penjara semua berjalan biasa-biasa saja. Sehingga pada saat tengah malam, ketika semua sudah terlelap dalam tidur, aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Kebelet pipis. Aku bangkit berjalan menuju WC, yang memang ada di dalam sekat kamar dengan penghalang dinding, di dalam ruangan yang sama. Kulihat di sudut sana sudah ada seseorang berdiri membelakangiku. Rupanya juga sedang buang air kecil. Pandanganku menyapu keremangan malam. Setelah dekat, dari sosok tubuhnya, aku baru mengetahui kalau orang tersebut adalah Kurnia. Aku berdehem, dengan maksud memberitahukan kehadiranku padanya. Tapi ia seolah tidak mendengar. Tidak peduli sama sekali terhadap kehadiranku. Sekadar menoleh kearahkupun tidak. Masih saja tetap dalam posisi semula. Berdiri membelakangiku.

Aku berjalan menghampiri dan berdiri tepat disampingnya. Aku melirik kearahnya.
"Elueuh.. eleuh.. kunaon eta, euy..", pekikku dalam hati.
Ternyata, Kurnia sedang ngloco/onani/merancap/masturbasi. Jantungku berdegup dan darahku terasa mendesir menyaksikan sebongkah batang kemaluan menegang dengan besarnya. Menyeruak dari genggaman jemari tangan yang bergerak maju mundur. Kepala penisnya memantulkan kilau merah keunguan dengan titik-titik precum menyembul dari ureter. Suara gemerisik gesekan tangan dengan batang penis itu serta helaan nafas yang memburu melengkapi suasana sensasional malam itu.

"Eh.., lu, Kur..?", tenggorokanku terasa tercekat ketika kuberanikan diri membuka percakapan, menyapanya.
Sementara, Kurnia, hanya sekilas menoleh dan tersenyum kecil sambil tetap membiarkan batang kemaluannya berselancar dengan riangnya di dalam gengaman jemarinya.
"Sayang, atuh, dibuang-buang gitu..", aku memberanikan diri mengomentari tindakannya itu.
"Lu mau?!?", sekonyong-konyong, dengan gaya acuh, Kurnia berbalik arah memberi isyarat padaku untuk menghisap kemaluannya yang saat itu seperti sedang meronta-ronta ingin lepas dari genggamannya.
"Yes, this what I mean!", seruku dalam hati.
Aku tersenyum menatapnya. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera merunduk jongkok. Mengambil alih batang kemaluan dari genggaman tangannya. Hilang sudah keinginanku semula untuk kencing.

Cuping lubang hidungku mengembang ketika mengendus semerbak aroma kelakian yang menggairahkan menyebar dari arah selangkangan Kurnia. Terlihat semakin jelas bongkahan penis yang mendongak dengan perkasa, menyeruak dari kerimbunan pubicnya yang ikal kelam dan lebat. Sambil menghirup dan menikmati aroma khas itu, bibir dan lidahku segera menyeruput dan menggumuli batang kemaluan yang menegang dengan tekstur guratan otot-otot disekelilingya.
"Nyummy.. nyumy.. nyummy", Aku mengelamoti glans seolah menikmati es lollypop yang lezat.
Kepalaku bergerak maju mundur menimbultengelamkan kepala penis Kurnia ke dalam kehangatan dan kegairahan birahi melalui kuluman mulutku. Bunyi berdecak dan kecipak bibir dan lidahku bersahutan dengan suara desah dan lenguhan kenikmatan Kurnia. Sesekali Aku membuang pandang ke atas. Menyaksikan ekspresi wajah kenikmatan Kurnia. Kedua belah tangan Kurnia bergerak-gerak meremas rambut di kepalanya sambil mulutnya mengerang dan mendesah.
Matanya terpejam dan ujung lidahnya menjulur-julur keluar dari mulutnya yang setengah membuka mengeluarkan desah suara, "Aach.. shhzz. ooch.. ahchh..".
Badannya menggelinjang limbung ke kiri dan kanan mengimbangi cumbuanku yang semakin menggila.

Pada saat yang sama, jemariku meluncur menyusuri batang penisnya. Menekan dengan lembut kulit kelaminnya. Bermula dari glans menuju ke arah bawah. Selanjutnya bersemayam di pangkal batangnya yang tegang itu. Dengan cara penekanan seperti itu, gurat-gurat otot di sepanjang batang penis menjadi lebih jelas terlihat. Kemudian dengan sedikit jilatan kasar lidahku menyapu dan mengelitik otot-otot itu. Maju mudur dari bawah ke atas dan sebaliknya.
Kurnia makin meracau, terbukti dari ucapan-ucapannya yang menjadi tidak jelas terdengar selain hanya deretan kata-kata, "Oouwh.. ochh.. enghzz.. fhs.. sshzz.. enyaak.. ouch.. terruuss.. oowug.. acchs.." yang meluncur deras dari bibirnya.

Aku terkejut ketika secara tiba-tiba, tangan Kurnia merenggut dan menekan kepalaku kearah selangkangannya. Tubuhnya terguncang dengan dengus nafas memburunya yang tersengal-sengal seraya memuntahkan cairan hangat gurih dimulutku. Aku hampir tersedak oleh semburan deras lahar birahinya dan sempat kesulitan bernafas karena hidungku tersumbat oleh kelebatan pubic Kurnia yang menutupi dan menggelitik lubang hidungku. Paduan sensasi rasa yang luar biasa kurasa. Aku terduduk lunglai di lantai. Kelelahan. Kedua bilah bibirku terasa tebal, dan jontor. Lidahku terasa kelu dan pegal. Butir-butir keringat mengalir membasahi tubuhku. Betul-betul olah syahwat yang melelahkan.

Belum selesai aku melakukan cooling down, mendadak Kurnia membungkuk ke arahku. Aku tidak menyangka jika kemudian ia meraih dan memelukku. Melumat bibirku. Lidahnya dengan liar menggapai-gapai langit-langit mulutku, seolah hendak menguras sisa spermanya yang masih melekat di mulutku. Hisapan mulutnya pada bibir dan lidahku melemaskan kembali organku yang semula terasa kelu dan kebal. Jemarinya gesit menjelajah lekuk tubuhku, menurunkan celana boxer yang kupakai serta menyingkirkan celana dalamku. Aku menggelinjang dan tubuhku terasa gerah terbakar cumbuan Kurnia yang menggelora.

Aku kagum juga pada Kurnia. Meski sudah ejakulasi, ternyata batang kemaluannya masih tetap ereksi. Aku melihat penisnya masih terayun-ayun tegak menantang dengan seksinya. Sambil memagut bibirku kurasakan jemari Kurnia merayap menggelitik lubang pelepasanku. Kemudian ia menyuruhku berdiri dan meletakkan satu kakiku bertumpu pada dinding bak mandi. Dalam posisi itu, celah diantara kedua bongkah pantatku membuka. Rectumku terasa mengembang lebar. Aku merasakan dinginnya malam menerpa dan menyelusup celah itu.

Aku kaget ketika kurasakan ujung lidah Kurnia yang basah dengan binalnya menggelitik tepi rectum, sementara jemarinya tanpa keraguan mengusap-usap batang kemaluan dan pubicku. Ditimpali pula dengan gesekan kumis dan sedotan bibirnya pada permukaan rectumku. Sekujur tubuhku bergetar menahan sensasi kenikmatan yang ditimbulkan. Masih di ruangan kamar mandi, kami beringsut pindah ke tempat yang tidak basah. Kurnia segera merebahkan diri. Batang penisnya tegang mengarah ke atas. Sambil melumuri penisnya dengan air liur ia memintaku jongkok di atas selangkangannya. Kurasakan jemarinya yang basah dengan saliva mulai melumuri dan merangsang rectumku.

Ujung jarinya terasa mencoba menguak lubang analku. Bergerak-gerak membuat arah lingkaran dan menggelitik dinding collon. Aku melemaskan rectum dan collon sehingga jemari Kurnia leluasa menjelajahi lekuk-lekuk di dalamnya. Kemudian kurasakan kedua jari Kurnia sudah mulai dapat menyusuri rongga kenikmatanku. Aku mendesah dan melenguh merasakan kenikmatan yang sangat. Aku berusaha merilekskan tubuh dan mengarahkan lubang duburku arah penis Kurnia. Perlahan namun pasti, aku mulai bergerak ke bawah menggapai glans penis itu serta mencoba menenggelamkannya ke dalam lubang Kenikmatan Gairah Birahi.

Kurasakan kenyerian yang sangat. Perutku terasa melilit karena mendapat tekanan batang kemaluan Kurnia. Rectumku terasa pedih, panas dan perih. Walau aku sudah mencoba bersikap serileks mungkin, namun collonku masih kesulitan melumat seluruh penis Kurnia. Keringat tubuhku mulai menitik. Aku mengumpulkan air liur dan meludahkannya ke telapak tanganku. Kutambahkan salivaku ke batang penis Kurnia dan permukaan rectum. Kemudian dengan semangat perjuangan, secara mendadak aku menghentak sekuat tenaga, sehingga keseluruhan batang kemaluan Kurnia akhirnya melesak masuk ke dalam cengkeraman lubang kenikmatanku.
Keringat membanjiri tubuhku menahan kenyerian, karena penis Kurnia yang terlalu besar diameternya. Selanjutnya dengan sedikit mencondongkan tubuh ke depan dengan bertumpu pada kedua belah kakiku yang terlipat, aku bergerak memajumundurkan tubuhku di atas selangkangan Kurnia. Rectumku kudenyut-denyutkan agar dapat memberikan efek remas dan pijatan ala mak erot, atau semacam empot-empotan pada batang kemaluan Kurnia.

Gerakan dan gesekan-gesekan yang kami lakukan memberikan efek sensasional yang luar biasa. Lenguhan dan desahan suara penuh nikmat mengiringi perjalanan mengayuh birahi mengantar kami menuju titik perhentian.
"Ooohh.. aah.. sshzz.. ngh.. fhs.. aach.. ennghss..".
Kata-kata tak bermakna namun mendebarkan hati siapapun pendengarnya itu menghiasi setiap gerakan dan goyangan persetubuhan yang kami lakukan. Jemari Kurnia mengelus-elus punggungku yang basah oleh keringat. Sesekali jemarinya disodorkan kemulutku dan segera kuhisap-hisap dan kugelitik ujung jarinya dengan lidahku. Sekelebat ingatan tayangan tivi goyang Inul Daratista membuatku terpacu meniru melakukan goyang ngebornya. (Namun, sejujurnya, goyangan ngebor ala "Inul" itu tidak dapat sepenuhnya diterapkan. Pasalnya, kemaluan Kurnia akan terlepas dari cengkeraman rectumku apabila aku bergoyang seheboh Inul. Akhirnya aku hanya bergoyang ala mengulek sambel di cobek. Dengan cara itu, penis Kurnia tetap dapat bersemayam ditempatnya, menikmati buaian empot-empot kontraksi otot collon dan rectumku). Kurnia mengimbanginya dengan memutar-mutar dan mendorong-dorong pinggulnya ke atas. Menjadikan senggama sejenis ini seolah bagai tarian erotik di pentas cinta, ditingkah pacuan dengus nafas dan detak jantung yang kian memburu.

Menciptakan variasi gaya bercinta, perlahan kami bergerak hati-hati mengubah posisi senggama. Menjaga agar penis Kurnia tidak terlepas dari cengekeraman rectumku. Aku menjatuhkan badan ke tubuh Kurnia. Meluruskan kaki yang tadi terlipat. Selanjutnya sambil tetap berdekapan kami memutar tubuh ke samping dan kemudian berbalik. Sekarang aku terbaring terlentang dan Kurnia bertumpu dengan kedua belah tangannya berada di antara ke dua belah pahaku yang mengangkang. Kurnia mengaitkan kedua kakiku ke pundaknya. Pinggangku menjadi agak tertarik ke atas. Penis Kurnia masih bersemayam dalam collonku. Kini ia mulai bergerak memompa diriku. Kenyerian yang muncul pada awal penetrasi tadi kurasa telah sirna berganti dengan kenikmatan yang sangat.

Sambil terus memompa Kurnia mencumbui diriku. Mulutnya bergantian menghisap-hisap puting susuku, menelusuri leher dan melumat bibirku. Jemari tangannya bergerilya menyusuri lekuk tubuh dan sesekali meremas-remas dadaku. Kurnia menciptakan irama senggama yang nikmat, tiga empat kali cabut benam dengan sekali gesek dan tekan goyang yang dalam. Perhitungan Kurnia sangat tepat sehingga penisnya tidak terlepas dari remasan rectumku. Pubicnya yang lebat dan kasar memberikan tambahan sensasi gelitik di bongkah pantatku. Tidak terhitung lagi berapa kali helaan nafas dan desah, lenguh yang lepas dari mulut kami bagai lantunan lagu acapella.

Seolah terbang ke langit tinggi dan berjalan tanpa menjejakkan kaki ke bumi. Melayang. Aku limbung. Demikian pula dengan Kurnia. Sampai akhirnya, Kurnia memuntahkan seluruh hasrat birahinya di dalam relung tubuhku. Aku dapat merasakan puncak gelora ketika batang kemaluannya terguncang-guncang, menggelepar dan menyentak memancarkan cairan kenikmatan persenggamaan. Diiringi lenguhan suara yang panjang, tubuh Kurnia mengejang dan tangannya mencengkeram erat pundakku. Kupeluk tubuh Kurnia yang rebah di atas tubuhku. Kudengar dengus nafasnya masih tersengal-sengal. Keringat membanjir membasahi lantai kamar mandi.

Aku mencegah Kurnia mencabut penisnya dari tubuhku, Biarlah ia bersemayan sejenak sementara dengan jurus empot-empotan collon dan rectumku aku mencoba memberikan pengakhiran yang nyaman untuk Kurnia.
"Terima kasih, Nug", Kurnia berbisik di telingaku.
"Lu belum keluar kan?", sambung Kurnia.
Aku cuma tersenyum. Dan Kurnia tidak melanjutkan pembicaran selain tetap memeluk dan menindih tubuhku. Namun tidak beberapa lama kemudian kurasakan ia bergerak-gerak kembali seperti hendak mencabut penisnya. Aku membiarkannya. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Kuakui sejak tadi aku memang belum ejakulasi.
"Sini, gantian gue sepongin punya lu?", kata Kurnia tiba-tiba.
Ucapan Kurnia sungguh mengejutkan diriku. Aku tidak mengira ia akan mau berbuat hal yang sama dengan yang kulakukan padanya.
"Kenapa lu, heran? Lu pan udah mau ngebantuin gue, masak sih, gue, tega kagak mau ngegituin lu?", lanjut Kurnia kemudian dengan acuhnya.
"Pertama liat lu datang, sebenarnya gue udah naksir lu. Tapi gak lucu juga dong, kalo baru ketemu langsung gue ajak lu maen. Iya kalo lu mau. Kalo kagak? Nah, gue yang tengsin, man!", Kurnia menepuk-nepuk bahuku.
"Tapi radar di hati gue tetap bilang kalo lu tuh, bisa buat di ajak main beginian, dan gue kagak salah nebak kan?", sambung Kurnia kemudian.
"Ok deh, Kurnia, gimanan kalo giliran gue besok malam aja ya. Lu tadi denger kan, di luar udah kedengeran bel bunyi empat kali. Bentar lagi anak-anak pada bangun. Dari pada ntar kitanya tengsin", sahutku.

Kurnia mengecup bibirku dan kemudian berdiri mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali, Sementara aku tetap di kamar mandi membersihkan sperma Kurnia yang masih tertinggal di dalam collonku. Aku jongkok mengejan dan kuarasakan cairan hangat sperma mengalir keluar. Terus kulakukan sampai aku yakin semua keluar. Sambil mandi pagi aku membersihkan collon dan rectumku. Kembali terasa pedih, namun kenyerian itu terkubur oleh rasa kenikmatan persenggamaan sejenis yang kami lakukan tadi (Tapi sungguh mati, aku tidak tahu kalau tanpa sepengetahuanku, ternyata ada beberapa pasang mata lain yang menelanjangi semua adegan yang kulakukan tadi. Aku baru tahu ketika siang hari, pada saat makan, Dhana, salah seorang diantaranya menghampiriku dan membisikan keinginannya main denganku. Buatku pucuk di cinta ulam tiba. Pasalnya, aku juga sudah menaruh hati pada beberapa orang tersebut. Dari sepuluh penghuni kamar itu empat orang diantaranya pernah bermain-main denganku. Angka ratio prevalensi yang cukup signifikan).

Di tempat penampungan sementara itu aku hanya berada satu bulan setengah lamanya. Sempat juga aku merayakan ulang tahun di dalam sel. Sahabatku dari luar membawakanku kue tart. Itu adalah kejadian ulang tahun yang memberikan kesan tersendiri bagiku. Berulang tahun di dalam penjara. Ketika itu aku bahkan difoto dengan memakai baju tahanan warna biru sambil memegang kue tart ulang tahun.

*****

Seminggu setelah ulang tahunku aku dipindah ke lembaga pemasyarakatan kelas 1. Di tempat yang baru ini aku beruntung tidak di tempatkan di blok. Namun di sebuah kamar dengan hanya enam orang penghuni yang semuanya asik gaul menurutku. Aku juga heran, ternyata kehidupan penjara tidak seseram yang kubayangkan sebelumnya. Singkat kata, irama kehidupan yang kujalani tidak berubah, hanya tempat aku hidup saja yang berubah.

Salah seorang sahabatku, Wisnu, sempat iri ketika aku menceritakan pengalamanku ini saat ia datang membesukku.
Bahkan, karena antusiasnya ia sempat meninju lenganku seraya berkata, "Sialan, lu, giliran bercinta gak ajak-ajak gue deh..". Ketika aku menceritakan adegan-adegan di dalam penjara.
"Auch..". Aku terpekik.
Rupanya pekikan suaraku sempat membuat pengunjung lainnya berpaling ke arahku. Aku jadi tersipu malu, dan Wisnu tertawa menyaksikan ulahku. Wisnu sempat juga kukenalkan dengan beberapa orang yang pernah "main" denganku.

Apabila di tempat penampungan sementara aku hanya dapat bercinta pada malam hari maka di lapas ini kebebasan lebih banyak kumiliki. Aku dapat memadu cinta pada siang hari. Memanfaatkan waktu jam besuk. Misalnya saja, ketika penghuni kamar lainnya sedang keluar menerima kunjungan atau berolah raga, aku tetap di diam di kamar berasik masyuk dengan Aka.

Aka adalah sosok muda usia yang menarik perhatianku. Bentuk tubuh proposional. Potongan rambut crew cut dengan jambul model film Tin-Tin. Kulit coklat bersih. Tutur bahasa yang santun, Semua itu tidak dapat menyembuyikan latar belakang sosial dan edukasinya. Ia memang berasal dari kalangan berada dan terpelajar. Karena di sini aku tidak bicara soal pelanggaran pasal-pasal KUHP dan sejenisnya, maka aku tidak merasa perlu menceritakan alasan Aka masuk ke dalam sel. Awal mula hubungan ketika aku mendapatkan Aka sedang meringkuk di divan dengan tubuhnya yang demam. Sepertinya ia sedang masuk angin. Aku menawarkan diri untuk mengerik dan memijat badannya. Ia tidak keberatan. Saat kusentuh keningnya memang terasa agak hangat.
"Tuh.., kamu pasti masuk angin, Ka. Mau aku kerik badanmu?", kataku menawarkan diri.

Aka tidak menyahut selain mengangguk seraya melepaskan t-shirt yang dikenakannya. Kemudian ia berbaring tengkurap. Dengan uang logam limaratusan rupiah dan balsam balpirik kayu putih aku mulai mengerik punggung Aka. Tidak memerlukan waktu lama semua punggung Aka sudah bagaikan kulit kuda zebra. Hanya ini bukan hitam putih, namun coklat dan merah kehitaman. Selesai mengerik punggungnya aku memintanya agar membalikan badan untuk mengerik bagian depannya. Ketika sudah membalikkan badan itu aku dapat menyaksikan dari dekat secara keseluruhan tubuh Aka yang mempesona. Tidak kurus dan juga tidak gemuk. Perutnya tidak berlemak dan dadanya bidang kenyal.

Aka berbaring telentang dengan menyilangkan kedua tangan di bawah kepalanya. Bulu ketiaknya yang lebat, lurus dan legam tumbuh berserak disekitar pangkal lengannya. Menebarkan aroma maskulin. Dengan posisi seperti itu keseksi-an tubuh Aka jelas tergambar. Apalagi ketika aku melirik ke arah bawah, terlihat siluet bongkah batang kemaluannya yang menggelembung di balik celana hawai-nya. Kentara ia sedang tidak memakai celana dalam (di penjara hampir jadi hal yang biasa melihat aneka kontur penis membayang dibalik celana. Sebab selalu saja ada yang tidak memakai celana dalam).

Aka tersenyum sayu menatapku saat kami tak sengaja beradu pandang. Aku tersipu (saat itu aku sungguh merasa salah tingkah). Namun segera kutepis angan nakalku itu. Aku kembali mengerik tubuh depan Aka hingga tuntas. Sikap Aka yang pasrah dan kooperatif membuatku cepat menyelesaikan tugas mengerik badannya. Wow, betul-betul warna merah hitam yang merata di sekujur tubuhnya.

Setelah itu aku meminta Aka tengkurap kembali. Kini aku mulai memijatnya. Dari pundak, punggung, mengarah ke pinggang. Kemudian berputar-putar disekitar bongkah pantatnya yang kenyal dan padat. Aku meremas-remas bongkah pantat itu. Menekan titik-titik rangsangnya. Aku tahu kalau Aka mulai menginginkan lebih saat terlihat ia mulai meregangkan kedua belah kakinya. Berlainan dengan posisi awal pemijatan yang merapatkan kedua belah kakinya.

Tanganku bergerak ke arah bawah bongkah pantatnya. Jemariku mencoba menguak celah diantara ke dua bongkah itu sambil tetap meremas, menekan dan memijat.
Efeknya mulai terasa ketika dari bibir Aka aku mendengar desahan suara, "Ach.. och.. sshhzzs.. aachh.. nghss.. ouch.." seraya tubuhnya bergerak mengelinjang ke kiri dan ke kanan.
Perlahan tapi pasti aku mulai menaikan pipa celana hawainya ke atas untuk mencapai paha bagian dalamnya. Semakin lama semakin terangkat ke atas sehingga jemariku dapat dengan mudah meraba paha bagian dalam dan menyentuh buah zakarnya yang terlihat menyembul dan terhimpit tubuhnya.
"Dibuka aja kolornya ya biar lebih gampang?", kataku dengan suara setengah tersekat kepada Aka.
"Terserah.. ach.. och.. sshhzz. emmhs.. aacchh..", sahut Aka dengan suara bergetar sambil mendesah-desah menikmati remasan jemariku di bongkah pantatnya.

Ketika kupelorotkan celana hawainya itu, aku hampir berhenti bernafas melihat pemandangan indah yang terpampang dihadapanku. Deretan pubic ikal menyeruak dari belahan bongkah pantatnya itu. Bagai deretan tanaman pinus di bukit manoreh. Sambil terus memijat dan meremas aku mencoba menguak belahan itu. Mataku dengan nanar mencari-cari letak duburnya yang tersembunyi oleh kelebatan pubicnya. Begitu terlihat, tanpa permisi lagi, kepalaku langsung merunduk. Mendekatkan kedua cuping hidungku seraya menghirup aroma semerbak yang terpancar dari zona sensitive itu.
"Hem.. sshz.. oocchh.." tubuhku terasa terbakar.
Aku tidak dapat mengendalikan diri lagi. Tanpa kusadari lidahku sudah menjulur menjilat-jilat (rimming) lubang anal Aka. Aku tidak peduli lagi dengan konvensi dan sejenisnya. Aku merasa sudah mendapat lampu hijau dari desahan-desahan suara Aka sebelumnya.

Memang, pada mulanya Aka sempat terlonjak. Tampak terkejut. Berbalik badan menatap tajam ke arahku, penuh keheranan. Ketika mendadak merasakan basah ujung lidahku menjelajahi analnya. Pada saat itu, sebenarnya, aku juga kaget. Aku takut kalau Aka tidak terima dengan perbuatanku dan lantas memancing keributan. Namun, untungnya, tidak terjadi hal seperti yang kutakutkan.
Kebekuan hanya berlangsung sebentar. Karena sesaat kemudian Aka segera kembali pada posisi semula. Bahkan, kini ia mulai mengangkat pinggangnya dan meyorongkan pantatnya ke arahku. Aku makin leluasa menjilatinya. Decak dan kecipak suara bibir dan lidahku bersahutan dengan suara rintihan kenikmatan Aka.
"Ach.. ouch.. shshsszz.. nghhgs.."
Sambil terus mengelamoti pantatnya, jemariku mencoba merayap ke penisnya. Ternyata batang kemaluannya sudah tegak membatu. Wah, lumayan juga ukurannya. Dapat kurasakan dari jemariku yang kewalahan menggenggamnya.

Langsung aku menggapai tubuhnya agar berbalik arah. Kini Aka sudah terlentang ke arahku dengan penisnya yang ereksi sempurna tersembul dari kerimbunan pubic yang ikal dan lebat. Seksi sekali. Mendadak Aka merenggut tubuhku ke arahnya. Ia segera memeluk tubuhku dan memagut bibirku. Aku merasakan bibirku digigit dan dihisap-hisap. Kemudian ujung lidahnya menerabas masuk menggelitik rongga mulutku. Makin memberikan sensasi rangsang yang menggairahkan. Kami berguling-gulingan. Saling menekan dan memeluk. Tapi aku masih tetap berpakaian. Semacam body contac namun tidak ada penetrasi. Istilahnya sih, petting.

Aku menyelusupkan kepala ke balik lengannya. Menjilat dan menghirup aroma kemaskulinan yang mengairahkan. Aka menggelinjang dan melenguh. Setelah itu aku beringsut ke bagian bawah. Menyergap bongkah penisnya yang sudah mengacung sejak tadi. Menjamahnya dengan pagutan gairah penuh dahaga. Aka terengah-engah mendesah dan melenguh. Jemarinya mengelus dan menjambak-jambak rambutku.
"Aaghh.. oogh.. shhzz.. eengh.. ffsshh.."
Tapi kami masih sadar bahwa hubungan sejenis ini tidak boleh diketahui oleh orang lain atau bahkan sipir. Karena itu, apabila semula dalam posisi berbaring, kini Aka berdiri, sambil membuang padangan ke arah pintu keluar. Sehingga aku pun mengikuti arah gerak tubuhnya. Kini aku berdiri dengan bertumpu pada kedua lututku yang tertekuk. Kepalaku tetap beregerak majumundur meluluhlantakkan hasrat birahi Aka yang sedang terbakar gairah.

Kuluman, pagutan, sepongan yang kulakukan dipadu dengan goyangan pinggul Aka makin membuat suasana bertambah panas. Sontak tubuh Aka mendadak kejang dengan kedua tangannya menekan kuat kepalaku ke arah selangkangan. Terasa penisnya memancarkan cairan kejantanan yang tumpah ruah di dalam mulutku.
"Sshhzz.. hahh.. ssfh.. aaghh.. aaghh.. uufh..", desah suara Aka bergetar saat menyemprotkan spermanya.
Mulutku dengan rakus menghisap, melumat dan mengenyot glans Aka agar menghadirkan sensasi empot-empotan yang sempurna. Seiring dengan tandasnya sperma Aka di mulutku, batang penisnya terasa mulai menyusut dan kembali ke ukuran semula. Aku membiarkan Aka menariknya dari kulumanku.

Dengan punggung tanganku aku menyeka bibirku yang terkena ceceran cairan kejantanan Aka.
"Thanks, Nug. Ntar malam lagi ya?".
Aku tidak menyahut kecuali mengedipkan sebelah mata seraya melemparkan celana hawai ke arahnya. Setelah itu aku bergegas keluar kamar bergabung dengan penghuni lain yang sedang berada di luar menerima kunjungan. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Aku yakin pula bahwa setelah ejakulasi tadi Aka sudah tidak masuk angin lagi.
"Wes.. ewes.. ewes.. buablas napsune.."